BANTERAYA.COM – Di tengah revolusi digital yang merambah hampir seluruh aspek kehidupan manusia — mulai dari komunikasi, keuangan, hingga pendidikan — keamanan siber menjadi isu sentral yang tak bisa lagi dipandang sebagai tanggung jawab teknis semata.
Dalam ranah keilmuan, keamanan siber (cybersecurity) merupakan cabang multidisipliner yang mencakup ilmu komputer, sosiologi digital, hingga psikologi perilaku pengguna.
Maka dari itu, pendekatan terhadap edukasi keamanan digital harus bersifat holistik dan berakar pada kesadaran kolektif, bukan sekadar penguasaan alat atau perangkat.
Baca Juga: BRI Branch Office Serang Salurkan Kurban Untuk Warga Binaan Lapas di Momen Idul Adha 2025
Keamanan digital berkaitan erat dengan konsep cyber hygiene, yaitu kebiasaan-kebiasaan aman dalam penggunaan perangkat digital dan internet.
Penelitian dalam bidang human-computer interaction (HCI) dan social informatics menunjukkan bahwa rendahnya kesadaran keamanan bukan hanya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan teknis, tetapi juga oleh faktor psikologis seperti kepercayaan berlebihan terhadap sistem, bias optimisme dan kurangnya pemahaman akan risiko digital jangka panjang.
literasi digital dasar, termasuk keamanan siber, masih rendah. Banyak pengguna tidak mampu membedakan antara situs resmi dan phishing, atau menganggap remeh praktik seperti autentikasi dua faktor.
Baca Juga: Minat Berkarir di Pelita Air? Simak Lowongan Kerja Terbaru Juni 2025
Kurangnya integrasi topik ini dalam kurikulum pendidikan formal, baik di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi, memperparah keadaan.
Pendidikan keamanan digital harus dimulai sejak dini, dengan pendekatan yang kontekstual dan aplikatif.
Misalnya, alih-alih hanya mengajarkan “jangan klik tautan mencurigakan”, peserta didik perlu diberi pemahaman mengenai bagaimana skema rekayasa sosial (social engineering) bekerja, serta mengapa mereka menjadi target.
Baca Juga: Heboh Grup Gay Pontirta, Terduga Admin Akhirnya Angkat Suara
Di tingkat pendidikan tinggi, perlu ada penguatan kurikulum lintas disiplin — antara ilmu komputer, etika digital, dan komunikasi — untuk menciptakan ekosistem pembelajar yang tanggap terhadap ancaman digital.
Edukasi keamanan siber tidak dapat berjalan optimal tanpa kolaborasi antara pemerintah, akademisi, industri, dan komunitas.
Pemerintah dapat memfasilitasi regulasi dan infrastruktur pembelajaran; akademisi mengembangkan modul dan pendekatan pedagogi yang relevan; industri menyediakan studi kasus dan teknologi nyata; sedangkan komunitas bisa menjadi agen perubahan di tingkat akar rumput.
Baca Juga: Kolaborasi Polda Banten dan Aliansi BEM Banten Bersatu Salurkan Hewan Kurban untuk Kaum Dhuafa
Selain itu, penting untuk membangun budaya digital yang sehat: kesadaran bahwa keamanan adalah tanggung jawab bersama.
Keamanan digital tidak dapat dibangun hanya dengan firewall dan antivirus — tetapi melalui kesadaran, pendidikan, dan etika.
Tanpa upaya kolektif untuk mendidik masyarakat secara berkelanjutan, inovasi digital akan menjadi pedang bermata dua.
Baca Juga: Acara Gebrag Ngadu Bedug 2025 di Pandeglang Sukses Digelar, Bupati: Semangat Menjaga Budaya!
Karena itu, edukasi keamanan siber adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan masyarakat digital yang tidak hanya cakap, tetapi juga waspada dan bertanggung jawab. ***
Istiqomah Rohmawati, S.Kom., M.Kom dan Angga Pramadjaya, S.Kom., M.M., M.Kom dosen Program Studi Sistem Informasi selaku dosen program studi sistem informasi Universitas Pamulang (Kampus Kota Serang).