BANTENRAYA.COM – Perdebatan mengenai sistem pemerintahan presidensialisme dan parlementer selalu menjadi topik yang menarik di Indonesia. Pertanyaan tentang mana yang lebih cocok untuk negara kita tidak pernah benar-benar selesai, karena masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa ini sudah pernah mencoba keduanya (Presidensialisme dan Parlementer). Pada tahun 1945, kita menganut sistem presidensial sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Lalu pada tahun 1949, kita sempat bergeser ke sistem parlementer ketika diberlakukan Konstitusi RIS dan Konstitusi Sementara 1950. Namun pada tahun 1959, Presiden Soekarno melalui Dekrit kembali ke UUD 1945 yang menegaskan sistem presidensial. Hingga sekarang, sistem presidensial tetap menjadi dasar konstitusi kita.
Sebelum jauh membandingkan keduanya, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Presidensialisme dan Parlementer. Sistem Presidensial menempatkan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, memiliki masa jabatan tetap, dan tidak bisa dijatuhkan oleh parlemen begitu saja kecuali melalui mekanisme khusus seperti pemakzulan.
Sementara itu, sistem Parlementer memberi posisi utama kepada perdana menteri yang berasal dari parlemen. Kekuasaan eksekutif sangat bergantung pada dukungan mayoritas parlemen, sehingga apabila mayoritas itu hilang maka pemerintah bisa jatuh kapan saja dan harus diganti. Kepala negara dalam sistem ini biasanya hanya bersifat simbolis, seperti raja atau presiden seremonial.
BACA JUGA: BKN Restui Rotasi dan Mutasi di Pemkot Cilegon, Robinsar Pastikan Sejumlah Pejabat Ini Aman
Dalam praktiknya, Presidensial sering dipandang lebih stabil karena masa jabatan presiden jelas, sedangkan parlementer dianggap lebih fleksibel karena pemerintah bisa berganti kapan saja ketika dianggap gagal. Namun fleksibilitas itu bukan tanpa risiko. Indonesia sendiri sudah pernah merasakan masa-masa pemerintahan parlementer pada 1950 hingga 1959. Saat itu demokrasi memang terasa hidup, banyak partai politik aktif, dan parlemen benar-benar berperan sebagai wakil rakyat. Akan tetapi, kelemahan sistem tersebut juga sangat terlihat. Kabinet jatuh bangun hanya dalam hitungan bulan. Dalam sembilan tahun itu ada tujuh kali pergantian kabinet, sehingga pemerintahan tidak pernah benar-benar stabil. Kebijakan sering berubah dan pembangunan sulit berjalan konsisten. Situasi ini membuat negara yang masih muda dan rapuh semakin sulit berkembang.
Saat kembali ke Presidensialisme pada 1959 di Indonesia, stabilitas pemerintahan lebih terjaga. Presiden memiliki masa jabatan tetap dan bisa merancang program pembangunan jangka panjang. Tetapi pengalaman juga mengajarkan bahwa presidensialisme tidak selalu berarti demokratis. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, sistem presidensial yang seharusnya mengedepankan keseimbangan kekuasaan justru dijalankan dengan gaya otoriter. Stabilitas memang tercapai, namun rakyat kehilangan ruang untuk berpartisipasi secara bebas.
Apabila dilihat dari kelebihan dan kekurangannya, sistem presidensial memiliki beberapa keunggulan yang relevan dengan Indonesia. Kepemimpinan menjadi lebih jelas karena rakyat tahu siapa kepala pemerintahan yang mereka pilih langsung. Masa jabatan yang tetap memberikan peluang untuk melaksanakan program pembangunan dengan lebih konsisten. Selain itu, negara yang luas, berpenduduk besar, dan beragam seperti Indonesia membutuhkan stabilitas politik agar tidak mudah terguncang oleh konflik antar partai. Akan tetapi, Presidensial juga memiliki sisi lemah. Kebuntuan atau dead lock bisa terjadi ketika presiden dan parlemen berbeda haluan politik. Biaya politik pun sering kali tinggi, karena pemilihan presiden dan legislatif dilakukan secara terpisah sehingga menuntut koalisi besar yang kadang berbasis pada transaksi politik, bukan visi dan program.
Di sisi lain, Sistem Parlementer juga mempunyai keunggulan tersendiri. Pemerintah lebih mudah diganti jika dianggap tidak lagi mewakili aspirasi rakyat melalui parlemen. Hubungan eksekutif dan legislatif juga lebih dekat, karena pemerintah berasal dari mayoritas parlemen. Namun pengalaman Indonesia dan banyak negara lain menunjukkan bahwa kelemahan sistem ini terletak pada instabilitas. Pemerintahan bisa jatuh kapan saja, dan program pembangunan yang seharusnya berkesinambungan sering terhambat karena pergantian kepemimpinan yang terlalu sering. Dalam konteks Indonesia yang masih berjuang memperkuat konsolidasi demokrasi dan pembangunan nasional, ketidakstabilan seperti ini jelas berisiko besar.
BACA JUGA: Siswa SDN 1 Sangkanmanik Belajar Diteras, Disdik Tak Punya Anggaran Bangun Kelas Baru
Pertanyaan utama kemudian adalah sistem mana yang lebih relevan untuk Indonesia hari ini? Presidensialisme masih menjadi pilihan terbaik. Alasannya sederhana: bangsa kita membutuhkan stabilitas. Negara dengan 270 juta penduduk, ribuan pulau, ratusan etnis, serta perbedaan agama dan budaya tentu memerlukan kepemimpinan yang kuat dan jelas. Jika sistem pemerintahan terlalu labil seperti pada era parlementer, potensi perpecahan justru makin besar. Selain itu, pemilihan presiden secara langsung memberikan rakyat kesempatan menentukan sendiri pemimpinnya. Hal ini penting untuk menjaga semangat demokrasi yang menekankan kedaulatan rakyat. Dalam sistem parlementer, rakyat memang memilih partai, tetapi siapa yang akhirnya menjadi perdana menteri sangat bergantung pada kesepakatan elit partai. Dengan kondisi politik Indonesia yang masih diwarnai praktik oligarki, sistem parlementer bisa saja membuat rakyat semakin jauh dari proses pengambilan keputusan.
Presidensialisme juga lebih memungkinkan adanya kesinambungan kebijakan pembangunan. Indonesia sedang menghadapi tantangan besar di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi. Semua itu membutuhkan perencanaan jangka panjang. Jika pemerintah mudah berganti, kebijakan berpotensi terus berubah sebelum sempat membuahkan hasil. Meski demikian, kita juga harus jujur bahwa sistem presidensial tidak otomatis membawa kebaikan tanpa perbaikan di dalam praktik politiknya. Risiko kebuntuan politik, biaya politik yang mahal, serta kecenderungan personalisasi kekuasaan tetap mengintai. Karena itu, yang harus dibenahi bukan sistemnya, melainkan kualitas partai politik, transparansi pemimpin, serta budaya politik yang lebih sehat.
Dengan kata lain, Presidensialisme memang lebih relevan untuk Indonesia, tetapi presidensialisme yang benar-benar demokratis, bukan yang dikuasai satu pihak secara dominan. Kita perlu memperkuat mekanisme pengawasan agar presiden tidak kebablasan, meningkatkan kapasitas parlemen agar lebih fokus pada kepentingan rakyat, dan mendorong partai politik agar lebih modern, transparan, dan akuntabel.
Pada akhirnya, pilihan sistem pemerintahan hanyalah wadah. Isi dari wadah itulah yang lebih menentukan. Wadah yang bagus bisa tetap menjadi masalah jika diisi oleh aktor-aktor yang korup, sementara wadah yang sederhana bisa berjalan baik bila diisi dengan orang-orang yang amanah. Oleh karena itu, yang lebih penting dari sekadar perdebatan Presidensialisme atau Parlementer adalah bagaimana kita membangun budaya politik yang sehat, pemimpin yang bertanggung jawab, dan partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat. Dengan begitu, sistem pemerintahan apapun akan mampu menjadi sarana bagi tercapainya demokrasi yang substantif dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. ***
Oleh: Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang (UNPAM) PSDKU Serang, Sinta Mega



















