Oleh: Rindy Antika Putri dan Devi Safitri
Mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Pancasila
BANTENRAYA.COM – “Tanah bukan sekadar harta, ia adalah warisan, identitas, dan harapan.”
– Refleksi Mbah Tupon, korban mafia tanah.
Kisah pilu menimpa Mbah Tupon (68), warga Padukuhan Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, DIY. Tanah warisan seluas 1.665 meter persegi, satu-satunya harta miliknya, kini raib digondol mafia tanah.
Baca Juga: Hello June! 3 Link Poster Ucapan Selamat Datang Bulan Juni, Desain Keren dan Aesthetic
Berawal dari niat menjual sebagian tanahnya untuk kebutuhan keluarga, Mbah Tupon justru kehilangan hampir seluruh hak atas tanahnya.
Ironisnya, tanah tersebut kini sudah beralih nama dan diagunkan ke bank senilai Rp1,5 miliar oleh orang yang tak dikenal.
Kronologi Pemiskinan di Usia Senja
Pada tahun 2020, Mbah Tupon menjual 298 meter persegi tanah kepada Bibit Rustamta seharga Rp1 juta per meter.
Baca Juga: Asal Muasal Seba Baduy dan Tokoh Bernama Wirasuta dari Cibeo
Penjualan ini dilakukan secara bertahap tanpa perjanjian tertulis maupun ketentuan jatuh tempo, dan hingga kini belum lunas, menyisakan kekurangan Rp35 juta.
Parahnya, dengan dalih membantu memecah sertifikat tanah untuk anak-anak Mbah Tupon, Bibit Rustamta justru mengatur proses pemecahan sertifikat menjadi lima bagian.
Dalam proses ini, Mbah Tupon, yang tidak bisa membaca dan menulis, diminta menandatangani beberapa dokumen yang tidak ia pahami, dengan didampingi seorang calo bernama Triyono.
Tanpa sepengetahuan Mbah Tupon, sertifikat tanah utamanya telah dibalik nama atas nama Indah Fatmawati dan dijadikan jaminan pinjaman di bank sebesar Rp1,5 miliar.
Baca Juga: Viral! Turis Asal Indonesia Bikin Video Joget di Area Kuil Bangkok Thailand, Netizen: Bikin Malu Aja
Fakta ini baru terungkap pada Maret 2024, saat pihak bank mendatangi rumah Mbah Tupon karena pinjaman tersebut tidak pernah diangsur.
Saat ini, Mbah Tupon dan keluarganya sedang berjuang mencari keadilan dengan melaporkan kasus ini ke Polda DIY pada April 2025, dengan lima orang terlapor, termasuk dua orang notaris.
Analisis Hukum: Pelajaran Penting dari Kasus Mbah Tupon
Kasus ini membuka mata kita bahwa praktik mafia tanah masih nyata terjadi di Indonesia, bahkan dengan melibatkan oknum dari profesi terhormat seperti notaris. Ada beberapa aspek hukum yang dapat dianalisis dari kasus ini:
Baca Juga: Sempat Curiga Terserang Penyakit, 17 Sapi di Kramatwatu Ternyata Negatif PMK
1. Asas Kehati-hatian dalam Jual Beli Tanah
Jual beli tanah yang sah menurut hukum harus dituangkan dalam akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam kasus ini, transaksi dilakukan tanpa perjanjian tertulis dan tanpa keterlibatan PPAT, sehingga rawan disalahgunakan.
Baca Juga: Ingin Berkarir di PT Indofood CBP Sukses Makmur? Intip Posisi yang Sedang Dibuka
2. Penyalahgunaan Wewenang dan Pemalsuan Dokumen
Jika benar Mbah Tupon menandatangani dokumen tanpa mengetahui isi dan tujuannya, maka ada indikasi penyalahgunaan kepercayaan, bahkan kemungkinan pemalsuan surat atau penyalahgunaan surat kuasa.
3. Keterlibatan Notaris dan Pelanggaran Etika Profesi
Peran notaris seharusnya menjamin bahwa pihak yang menandatangani dokumen mengerti dan menyetujui isi akta.
Baca Juga: Rekomendasi 10 Wisata Alam di Banten yang Dapat Dikunjungi Saat Libur Long Weekend
Jika notaris tidak melakukan verifikasi identitas dan pemahaman para pihak, maka ia dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana sesuai UU Jabatan Notaris dan KUHP.
4. Potensi Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan
Apabila terbukti bahwa para pelaku bersekongkol untuk menguasai tanah Mbah Tupon dan mengagunkannya untuk keuntungan sendiri, maka unsur-unsur pasal 378 KUHP tentang penipuan dan pasal 372 KUHP tentang penggelapan dapat terpenuhi.
Edukasi Hukum untuk Masyarakat: Agar Tak Terjerat Modus Serupa
Dari tragedi yang menimpa Mbah Tupon, ada sejumlah pelajaran penting yang harus kita sebarkan ke masyarakat luas:
Baca Juga: Info Loker Terbaru Mei 2025 di PT Panasonic Manufacturing Indonesia, Cek Kualifikasinya
- Selalu Gunakan Jasa PPAT Resmi
Jangan pernah melakukan jual beli tanah secara lisan atau hanya dengan perjanjian bawah tangan. Gunakan jasa PPAT dan buat akta jual beli secara resmi.
- Jangan Menandatangani Dokumen Tanpa Membaca dan Memahami
Apabila seseorang tidak bisa membaca atau menulis, pastikan ada pendamping hukum yang menjelaskan isi dokumen. Jika perlu, mintalah akta dibacakan secara utuh oleh notaris.
Baca Juga: Inilah Jadwal dan Niat Puasa Arafah 2025, Ibadah Sunah Menghapus Dosa Dua Tahun
- Waspadai Dalih Pemecahan Sertifikat Tanpa Alasan Jelas
Pemecahan sertifikat haruslah berdasarkan permintaan yang sah dan dilakukan secara transparan. Jangan mudah percaya kepada pihak ketiga yang menawarkan bantuan administratif.
- Cek Sertifikat Secara Berkala ke BPN
Lakukan pengecekan sertifikat secara rutin untuk memastikan bahwa status kepemilikan tidak berubah. BPN kini menyediakan layanan daring untuk pengecekan sertifikat.
Baca Juga: Rekomendasi 10 Wisata Alam di Banten yang Dapat Dikunjungi Saat Libur Long Weekend
- Lapor Segera Jika Tercium Kejanggalan
Segera laporkan kejanggalan kepada aparat penegak hukum dan jangan biarkan masalah berlarut-larut. Kecepatan pelaporan bisa mencegah kerugian lebih lanjut.
Kasus Mbah Tupon harus menjadi alarm keras bagi kita semua bahwa perlindungan hukum terhadap kepemilikan tanah harus dimulai dari masyarakat sendiri, terutama dengan meningkatkan kesadaran hukum dan tidak tergiur solusi instan.
Penting juga bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk terus membongkar jaringan mafia tanah hingga ke akar-akarnya, termasuk menindak tegas oknum notaris yang melanggar sumpah jabatannya.
Baca Juga: Bersertifikat BNSP, Kualitas Lulusan UPTD Latihan Kerja Terjamin
Kami, sebagai mahasiswa Magister Kenotariatan, percaya bahwa edukasi hukum dan penegakan etika profesi adalah kunci agar keadilan tidak menjadi hak istimewa, tapi hak semua orang, termasuk mereka yang seperti Mbah Tupon. ***
Tentang Penulis:
Rindy Antika Putri & Devi Safitri adalah mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Pancasila. Artikel ini merupakan bagian dari refleksi akademik dalam mata kuliah Penemuan Hukum.



















