BANTENRAYA.COM – Perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar dan popular pada tahun 1970 an, yakni dengan berdirinya Lembaga swadaya masyarakat (non governmental organization) yakni Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei tahun 1973.
YLKI bergerak di bidang perlindungan konsumen dalam aktifitasnya bertindak selaku perwakilan konsumen (consumer representation) yang bertujuan untuk melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.
Setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1999, undang-undang Indonesia belum mengenal istilah Perlindungan Konsumen, namun demikian peraturan perundang-undangan di Indonesia memenuhi unsur perlindungan konsumen.
BACA JUGA: APBD Cilegon 2026 Disahkan, Pemkot Klaim Mendukung Program Pembangunan Strategis
Pembentukan UUPK tidak terlepas dari dinamika politik di Indonesia. Iklim politik yang lebih demokratis ditandai dengan Gerakan reformasi yang dikomandoi oleh mahasiswa dan ditandai dengan pergantian Presiden dari Bapak Soeharto kepada Bapak B.J. Habibie.
Pada masa kepemimpinan Presiden Habibie, DPR menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan rancangan undang-undang yang selama kepemimpinan Presiden Soeharto tidak pernah digunakan.
Tahun 1999, lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Lahirnya UUPK bertujuan meningkatkan kesadaran-kemampuan-dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen, meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih dan menentukan serta menuntut hak-haknya sebagai konsumen, menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
Kini UUPK telah berumur 26 tahun, Revisi UUPK sudah masuk prolegnas dan sudah mulai dibahas sejak tahun 2023, tetapi sampai sekarang tak kunjung rampung. Terbaru Revisi UUPK masuk kembali ke dalam Prolegnas tahun 2025 atas usulan dari Komisi IV DPR.
Revisi UUPK bersifat mendesak dan bertujuan untuk menyesuaikan dengan perdagangan bebas dan perkembangan teknologi digital serta belum bisa menjawab beberapa persoalan perlindungan konsumen. Misalnya saja tentang definisi Konsumen.
Di dalam UUPK pengertian konsumen hanya terbatas pada “Orang” pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Di dalam Ilmu Hukum subjek hukum terdiri dari Orang dan Badan Hukum. Dengan demikian di dalam UUPK, badan hukum tidak diketegorikan sebagai konsumen.
Begitu pula dengan pengertian pelaku usaha, menurut UUPK pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Melihat kepada aturan tersebut, pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri tidak termasuk dalam lingkup pelaku usaha. Hal ini kurang relevan dengan perkembangan perdagangan bebas saat ini.
Dengan adanya Revisi UUPK, diharapkan konsumen dapat lebih terlindungi hak-haknya dan pelaku usaha pun dapat terus berkegiatan usaha tanpa merugikan dan dirugikan. Sehingga iklim perekonomian dan perdagangan akan terus tumbuh dengan sehat. ***



















