BANTENRAYA.COM – Ketika dewasa kita sering kali mendengar banyak orang yang menyebut Indonesia tanah surga dikarenakan potensi dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah.
Akan tetapi, beberapa dekade belakangan kita menyaksikan kerusakan alam yang luar biasa mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan, kerusakan infrastruktur, dan kerusakan tatanan masyarakat.
Fenomena kerusakan alam yang bisa disebut dengan “Kerusakan Moral Ekologis’ bukan sekadar kejadian geografis belaka, tetapi ini sebab dari keserakahan, keputusan ekonomi, dinamika politik, dan penerapan hukum yang carut-marut.
Kondisi Geografis dan Potensi Risiko Bencana
BACA JUGA: Madura United vs Persib Bandung, Mampukah Laskar Sape Kerrab Kembali Menang di Kandang?
Secara geografis Indonesia berada di antara 3 lempeng tektonik besar mengakibatkan aktivitas vulkanik dan gempa yang tinggi, sementara kondisi tanah yang curam di banyak wilayah menjadikan daerah tersebut rawan tanah longsor.
Pada tahun 2017 hingga 2022, risiko tanah longsor meningkat dengan kategori “Tinggi” Selain itu, kondisi ini diperparah oleh kerusakan alam.
Pembalakan liar membuat hutan jadi gundul, proyek reklamasi juga alih fungsi lahan mengurangi potensi alam meredam bencana. Akhir November 2025, bencana banjir dan longsor melanda wilayah Sumatra, menewaskan 164 orang lebih dan memaksa sekitar 3.000 keluarga mengungsi.
Dampak kerusakan sangat luas, banyak rumah dan fasilitas publik rusak berat bahkan hancur total, ribuan warga tanpa tempat tinggal dan memicu krisis sosial yang signifikan. Peristiwa ini menegaskan betapa rentannya masyarakat di daerah rawan terhadap bencana, terutama ketika mitigasi dan pengelolaan risiko belum optimal.
BACA JUGA: Eco-Resilience Project UI, Edukasi Pangan untuk Ibu-ibu PKK di Parakansalak Sukabumi
Deforestasi dan Kerentanan Ekologis
Data dari analisa Greenpeace Indonesia mencatat Indonesia kehilangan 16 juta hektare tutupan hutan dalam 2 dekade terakhir akibat deforestasi dan kebakaran hutan. Yang artinya fenomena ini bukan hanya mengancam fungsi geologis dan keanekaragaman hayati, tapi juga meningkatkan resiko bencana alam.
Data terbaru yang di rilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukan sebanyak 2.919 kejadian bencana di seluruh Indonesia, pada Januari hingga akhir November 2025, dan 98,97% di antaranya adalah bencana hidrometeorologi.
Data itu tidak hanya menunjukkan kerentanan berulang semata, melainkan kesalahan pola struktural, geografis dan manusia yang harus dievaluasi secara serius.
Struktur Penguasaan SDA
BACA JUGA: Peduli Kemanusiaan Bencana Pulau Sumatera, Pemkot Cilegon Galang Donasi Lewat BPBD
Pertama mari kita telaah pada aspek struktur penguasaan sumber daya alam dan distribusi monopoli ekonomi. Di banyak wilayah di Indonesia, tanah dipatoki, laut dipagari, hutan, serta tambang dan lahan strategis dikuasai sekelompok korporasi dan elit. Pemberian izin tambang, reklamasi, pembangunan infrastruktur, dan Perkebunan, acap kali di pengaruhi pada keuntungan materi semata, tanpa memikirkan dampak lingkungan dan kemaslahatan masyarakat. Data deforestasi yang diungkap Greenpeace Indonesia untuk perkebunan dan industri, ada data historis bahwa di bawah moratorium hutan primer & lahan gambut, lebih dari 1,2 juta hektare hutan hilang, akibat kebakaran dan alih fungsi lahan, antara 2011-2018.
Mega proyek yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek acap meninggalkan dampak buruk bagi lingkungan, mengakibatkan tanah kehilangan daya cengkraman, erosi, pencemaran dan kerusakan hutan. Yang pada akhirnya Masyarakat kecil yang menerima dampak negatif yang disebabkan eksploitasi alam. Dilain sisi, korporasi atau elite ekonomi biasanya tidak terdampak kerugian langsung dari kerusakan tersebut, karena biaya dampak lingkungan dianggap “biaya tambahan” yang tidak memengaruhi keuntungan mereka.
BACA JUGA: Raperda PUK Kota Serang Tuai Pro Kontra, Budi Rustandi Klaim Tutup Celah Peredaran Miras
Lemahnya Penegakan Hukum
Indonesia memiliki aturan hukum untuk menjaga lingkungan, termasuk Undang Undang Lingkungan Hidup dan regulasi kehutanan. Sayangnya, penerapan aturan ini kerap lemah, izin usaha sering dikeluarkan di kawasan yang rawan bencana, pengawasan minim, dan hukuman bagi pelanggaran lingkungan jarang dijalankan secara tegas.
Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Sepanjang periode November 2024 hingga September 2025, KLH/BPLH menangani 924 kasus pelanggaran lingkungan, dengan 47 kasus masuk tahap pidana. Selain itu, keputusan pembangunan sering dipacu oleh target jangka pendek, seperti pertumbuhan ekonomi cepat atau pencitraan proyek infrastruktur, tanpa memperhitungkan risiko bencana dan kelestarian ekosistem.
Akibatnya, masyarakat yang tinggal di daerah rawan harus menanggung dampak paling besar, sementara kelompok elit dan perusahaan tetap menikmati keuntungan tanpa menanggung risiko kerusakan lingkungan.
Dampak Sosial dan Ketidakadilan Ekologis
Kerusakan alam akibat faktor-faktor diatas tidak hanya menimbulkan kerugian materil,, tetapi juga memicu masalah sosial yang serius. Dampaknya mencakup pengungsian massal, hilangnya mata pencaharian, trauma psikologis, serta generasi yang tumbuh dalam rasa takut. Secara moral dan keadilan, Kelompok yang paling terdampak bencana alam dan kerusakan lingkungan biasanya adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam akses sosial, ekonomi, dan politik, sehingga minim kesempatan untuk melindungi diri atau memanfaatkan sumber daya secara efektif. Kondisi ini menjadikan mereka lebih rentan terhadap dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan, sementara pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan besar jarang merasakan konsekuensi secara langsung.
BACA JUGA: Raperda PUK Kota Serang Tuai Pro Kontra, Budi Rustandi Klaim Tutup Celah Peredaran Miras
Kerusakan alam di Indonesia bukan semata urusan alam, ia terkait dekat dengan struktur kekuasaan, kepemilikan sumber daya, kebijakan pembangunan, dan prioritas ekonomi. Jika kita terus menerima model pembangunan yang didominasi ekonomi oligarki dan mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan keberlanjutan, maka bencana akan menjadi norma dan penderitaan akan semakin dalam. Perlu dilakukan reformasi kebijakan dan regulasi agar setiap izin usaha mempertimbangkan aspek mitigasi risiko bencana, keberlanjutan lingkungan, dan keselamatan masyarakat. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas korporasi harus ditingkatkan, terutama terkait penggunaan lahan, reklamasi, dan kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem. Peningkatan pendidikan publik dan kampanye kesadaran lingkungan juga penting, agar masyarakat memahami risiko, hak-haknya, serta urgensi perlindungan alam. Di sisi sosial, solidaritas antar warga perlu diperkuat melalui bantuan bagi korban bencana, dukungan rehabilitasi, dan pengembangan jaringan komunitas yang mampu menghadapi risiko secara kolektif. ***
Oleh: Pandi Ahmad, Kabid Sosmas PD KAMMI Serang.



















