BANTENRAYA.COM – Isu sengketa tanah adat tak henti-hentinya menjadi sorotan tajam di Papua, kini dengan mencuatnya kembali konflik antara masyarakat adat dengan raksasa industri perkebunan kelapa sawit di wilayah selatan, khususnya Merauke dan Boven Digoel.
Tanah, yang bagi masyarakat adat adalah warisan leluhur dan pondasi kehidupan, kini bergeser menjadi medan perjuangan hukum yang pelik, mempertemukan klaim tradisional dengan ambisi investasi berskala masif.
Tak hanya cerita lama, konflik lahan ini terus terjadi, meninggalkan jejak kepedihan dan ketidakpastian bagi ribuan masyarakat adat.
Dari hilangnya hutan sagu, sumber pangan utama, hingga terpisahnya kuburan leluhur dari akses keluarga, sengketa ini bukan sekadar perebutan aset, melainkan pertarungan eksistensi dan identitas.
Banyak kasus yang berujung pada kriminalisasi warga, penggusuran paksa, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.
Di balik setiap klaim sertifikat HGU perusahaan, ada jerit keadilan masyarakat adat yang merasa hak ulayatnya diabaikan.
Ketidakjelasan status hukum tanah adat, perbedaan interpretasi regulasi, serta praktik perolehan izin yang cacat prosedural, menjadi pemicu utama yang terus menggerogoti rasa keadilan di Bumi Cenderawasih.
Mengapa sengketa tanah adat di Papua, khususnya terkait investasi besar, begitu sulit diselesaikan?
Apakah sistem hukum dan administrasi pertanahan kita sudah cukup kuat dan adil untuk melindungi hak-hak masyarakat adat di tengah derap pembangunan?
Baca Juga: Momen Rapper Central Cee Naik Vario dan Macet-macetan di Bali, Bikin Heboh Jelang Konser
Kronologi Khas Sengketa: Potret Konflik di Selatan Papua
Kisah sengketa tanah adat di Merauke atau Boven Digoel seringkali bermula dari skenario yang serupa, melibatkan ribuan hektare lahan yang secara turun-temurun menjadi wilayah adat suku-suku seperti Mappi, Marind, atau Mandobo.
Mereka telah menguasai dan mengelola hutan serta tanah dengan sistem kepemilikan komunal berdasarkan adat istiadat, tanpa sertifikat formal dari negara.
1. Masuknya Konsesi Skala Besar:Sejak awal tahun 2000-an, daerah selatan Papua mulai dilirik oleh investor besar, khususnya perusahaan kelapa sawit, karena ketersediaan lahan yang luas.
Pemerintah daerah dan pusat pun menerbitkan izin lokasi dan Hak Guna Usaha (HGU)kepada sejumlah perusahaan untuk mengembangkan perkebunan sawit raksasa.
Baca Juga: VIRAL! Link Nonton Keluarga Suami Adalah Hama Full Movie, Lengkap dengan Sinopsis
2. Proses Perizinan yang Kontroversial:Di sinilah letak pangkal masalahnya. Banyak laporan menunjukkan bahwa proses perolehan izin seringkali minim transparansi dan partisipasi penuh masyarakat adat.
Konsultasi yang dilakukan kerap tidak memenuhi prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (PADI/FPIC).
Masyarakat merasa informasi yang diberikan tidak lengkap, atau persetujuan didapatkan melalui tekanan, iming-iming yang tidak sesuai, atau hanya melibatkan segelintir orang yang tidak merepresentasikan seluruh komunitas adat.
Batas-batas wilayah adat yang tumpang tindih dengan izin konsesi pun tidak terselesaikan dengan baik.
Baca Juga: Andra Soni Klaim Koperasi Desa Merah Putih Bisa Bikin Warga Lepas dari Jerat Rentenir
3. Pembukaan Lahan dan Eskalasi Konflik:Setelah izin di tangan, perusahaan mulai melakukan pembukaan lahan secara masif. Alat-alat berat meratakan hutan, mengubah lanskap tradisional menjadi hamparan sawit.
Masyarakat adat yang hidupnya sangat bergantung pada hutan dan tanah tersebut – untuk berburu, meramu sagu, berkebun, dan melakukan ritual – merasa hak-hak mereka dicabut paksa.
Protes, demonstrasi, hingga pemblokiran akses jalan seringkali terjadi sebagai bentuk perlawanan, yang tak jarang berujung pada tindakan represif.
Baca Juga: Anak Buah Bos Pabrik Pil PCC di Kota Serang Minta Dihukum Ringan, Alasannya Tulang Punggung Keluarga
4. Perjuangan Hukum yang Penuh Tantangan:Ketika kasus dibawa ke jalur hukum, masyarakat adat menghadapi tantangan besar.
Mereka sulit membuktikan kepemilikan formal karena bukti-bukti yang dimiliki berupa tradisi lisan, peta adat, atau penguasaan turun-temurun, yang seringkali dianggap lemah di mata hukum positif negara yang mensyaratkan sertifikat.
Sementara itu, perusahaan berpegang teguh pada dokumen HGU yang sah secara administrasi negara.
Perkara berlarut-larut di pengadilan, memakan waktu, biaya, dan energi, seringkali berakhir dengan putusan yang kurang berpihak pada keadilan substantif masyarakat adat.
5. Dampak Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan:Selain kerugian materi dan hilangnya tanah, sengketa ini juga menimbulkan dampak sosial dan budaya yang parah.
Struktur sosial adat terganggu, mata pencarian tradisional musnah, konflik internal antar marga bisa memanas akibat iming-iming kompensasi, dan kerusakan lingkungan yang terjadi bersifat permanen.
Ini adalah gambaran umum yang merefleksikan realitas pahit sengketa tanah adat di Papua.
Baca Juga: Clash of Champions Season 2 Episode 2 dan 3: Siapakah dari Universe 2 yang Berhasil Lolos?
Menerawang Akar Masalah dalam Payung Hukum Perdata dan Agraria
Secara hukum, isu sengketa tanah adat di Papua sangat kompleks karena melibatkan berbagai lapisan regulasi dan norma. Aturannya utamanya tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua), serta berbagai peraturan pelaksanaannya, termasuk yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Beberapa poin krusial yang kerap menjadi sumber sengketa adalah:
- Pengakuan Hak Ulayat yang Belum Tuntas: UUPA mengakui keberadaan hak ulayat sepanjang kenyataannya masih ada. Namun, hingga kini, implementasi pengakuan hak ulayat di lapangan masih menjadi tantangan besar.
- Belum adanya regulasi khusus yang mengatur secara detail mekanisme penetapan wilayah adat, peta partisipatif yang komprehensif, dan proses identifikasi/verifikasi yang berlarut-larut, seringkali menyulitkan penetapan batas-batas hak ulayat secara hukum. Pasal 43 UU Otsus Papua juga mengamanatkan perlindungan hak-hak masyarakat adat, namun kerangka implementasinya belum optimal.
- Penerbitan Izin di Atas Tanah Ulayat: Konflik seringkali muncul ketika pemerintah atau perusahaan memperoleh izin konsesi (seperti HGU untuk perkebunan atau izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan) di atas tanah yang diklaim sebagai wilayah adat, tanpa proses Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (PADI/FPIC) yang memadai. Prosedur penerbitan sertifikat HGU oleh BPN terkadang tidak mempertimbangkan klaim hak ulayat yang belum dipetakan atau diakui secara formal.
- Pembuktian Hak yang Tidak Seimbang: Bagi masyarakat adat, bukti kepemilikan tanah tidak hanya terbatas pada sertifikat resmi, melainkan juga didasarkan pada sejarah penguasaan, adat istiadat, ritual, dan pengetahuan lokal. Ketidakmampuan sistem hukum formal untuk sepenuhnya mengakomodasi bentuk-bentuk pembuktian tradisional ini seringkali merugikan masyarakat adat di persidangan.
- Peran Pemerintah Daerah dan Pusat: Sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antar Kementerian (Agraria dan Tata Ruang/BPN, KLHK, Investasi) menjadi kunci. Perbedaan interpretasi regulasi dan kurangnya koordinasi sering memperparah sengketa.
Baca Juga: Karyawan Outsourcing PT KJI Pukul Atasannya hingga Bibirnya Robek, Kasusnya Dibawa ke Meja Hijau
Tantangan dan Jalan ke Depan
Sengketa tanah adat di Papua adalah cerminan dari persoalan sistemik yang belum terselesaikan dalam administrasi dan penegakan hukum agraria, sekaligus ujian besar bagi komitmen negara terhadap perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Ini bukan hanya masalah individu atau korporasi, melainkan tantangan besar bagi pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial di Papua.
Ke depan, banyak tantangan yang harus segera diselesaikan guna menemukan keadilan bagi semua pihak, antara lain:
Baca Juga: Berorientasi pada SDGs Bukti Nyata BRI Pada Komitmen World Class Sustainable Banking Group
- Percepatan Pemetaan dan Pengakuan Hak Ulayat: Pemerintah harus mempercepat proses identifikasi, verifikasi, dan penetapan wilayah adat serta hak ulayat secara partisipatif, dengan melibatkan penuh masyarakat adat. Regulasi turunan dari UUPA yang secara spesifik mengatur hak ulayat perlu segera disahkan dan diimplementasikan sebagai payung hukum yang kuat.
- Penerapan Prinsip PADI/FPIC yang Ketat: Perusahaan dan pemerintah wajib menerapkan prinsip Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (PADI/FPIC) secara ketat dan bermakna sebelum melakukan aktivitas atau menerbitkan izin di wilayah yang diklaim sebagai tanah adat. Transparansi dalam seluruh proses perizinan mutlak diperlukan.
- Penguatan Kapasitas dan Integritas Aparat: Diperlukan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, jajaran BPN, dan pemerintah daerah agar memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hak-hak masyarakat adat dan kompleksitas sengketa pertanahan di Papua. Pemberantasan praktik-praktik mafia tanah dan oknum yang merugikan masyarakat adat harus menjadi prioritas.
- Mekanisme Penyelesaian Sengketa yang Adaptif dan Berkeadilan: Mendorong penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi yang mengedepankan kearifan lokal, seperti mediasi adat, sebagai pilihan utama. Pengadilan juga perlu meningkatkan sensitivitasnya terhadap bukti-bukti adat dan perspektif masyarakat lokal dalam memutuskan perkara, guna mencapai keadilan substantif.
- Edukasi dan Advokasi Hukum: Masyarakat adat perlu diberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai hak-hak mereka, prosedur hukum, serta cara mengakses bantuan hukum. Peran organisasi masyarakat sipil dan lembaga bantuan hukum sangat krusial dalam pendampingan.
Sengketa tanah adat di Papua adalah ujian bagi sistem hukum dan keadilan kita.
Penyelesaiannya bukan hanya tentang kepemilikan sebidang tanah, melainkan tentang menghargai keberagaman budaya, melindungi hak-hak dasar, dan membangun pembangunan yang inklusif serta berkelanjutan di atas fondasi keadilan. Mampukah kita bersama-sama mewujudkan mimpi ini? ***
Penulis :
Daud Putra Prakarsa (5624221026)
Sony Emeraldo Hamonangan Simamora (5624221035)
Merupakan mahasiswa UNIVERSITAS PANCASILA
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Pancasila