BANTENRAYA.COM – Pengamat Ekonomi Banten Bambang D. Suseno menilai, kondisi daya beli yang lesu dan administrasi berpotensi menghambat capaian realisasi penyerapan rumah subsidi di Banten.
Menurutnya, program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) merupakan bagian dari strategi nasional untuk menyediakan rumah subsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Di Banten, kuota rumah subsidi awal ditetapkan sebanyak 10.000 unit, namun berdasarkan dinamika kebutuhan dan insentif pemerintah, kuota tersebut ditambah 5.000 unit menjadi total 15.000 unit .
Namun, data monitoring menunjukkan bahwa kebutuhan riil di Banten bahkan mencapai 21.176 unit rumah subsidi melebihi jumlah kuota yang ditentukan, hal ini mengindikasikan tingginya permintaan yang belum sepenuhnya terakomodasi.
“Hingga 7 Agustus 2025, realisasi penyerapan FLPP di Banten tercatat 10.364 unit. Dengan tren penyaluran yang ada, proyeksi hingga awal September 2025 diperkirakan mencapai kurang lebih ada 13.000 unit,” kata Bambang saat dikonfirmasi Bantenraya.com, Senin 15 September 2025.
BACA JUGA : Toyota Siapkan Mobil Listrik bZ7, Kolaborasi dengan Huawei dan Xiaomi
Capaian tersebut setara dengan 48-50 persen dari total kuota, sedikit di atas rata-rata nasional yang sebesar 49,5 persen.
Bambang memberikan proyeksi realisasi penyerapan rumah subsidi hingga akhir 2025 hanya mampu mencapai 70–80 persen tergantung percepatan dan stimulus.
“Program FLPP di Banten menunjukkan progres yang cukup baik dengan realisasi mendekati 50 persen dari kuota, didukung oleh sinergi multipihak dan skema kemudahan yang menarik. Namun, tantangan seperti ketersediaan lahan, biaya notaris, dan daya beli masih perlu diatasi secara sistematis,” paparnya.
Beberapa kendala utama dalam implementasi yang secara signifikan menghambat percepatan penyerapan rumah subsidi antara lain keterbatasan lahan, terutama di wilayah urban seperti Kota Serang, dimana harga tanah terus naik dan ketersediaan lahan terbatas.
Selanjutnya ialah niaya notaris yang relatif tinggi, yakni Rp4 hingga 5 juta per akad, dinilai membebani MBR yang berpenghasilan rendah.
“Meskipun ada skema subsidi, daya beli masyarakat masih rendah, terutama di kalangan pekerja informal. Termasuk masih adanya sorotan terhadap kualitas bangunan yang belum optimal dan proses perizinan yang lambat dan tidak terintegrasi,” jelas Bambang.
Sebanyak 37,28 persen penerima FLPP di Banten adalah kelompok berpenghasilan Rp4-5 juta per bulan, termasuk ASN muda, tenaga kesehatan, dan pekerja sektor informal.
BACA JUGA : Warga Desa Sukadaya Kecewa Jalan Rusak, 20 Tahun Lamanya Masih Gini-gini Saja
“Ini sudah mencerminkan kondisi yang cukup baik, pemerintah menyediakan skema kemudahan seperti uang muka 1 persen dan bunga tetap 5 persen. Dan tambahan subsidi uang muka Rp4 juta dan pembebasan PPN,” paparnya.
Ekonom Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Hady Sutjipto menambahkan, gambaran penyerapan realisasi rumah subsidi menjadi sinyal bahwa terjadi daya beli yang turun.
“Ini yang menjadi fundamental, meskipun pemerintah telah memberikan berbagai insentif, namun ditengah daya beli yang turun, masyarakat berpenghasilan menengah kebawah ragu untuk mengambil komitmen finansial jangka panjang seperti KPR ini,” ucap Hady.
Hadi menyebut, kondisi ini justru menjadi peluang resiko baru, ditengah kredit kepemilikan rumah (KPR) dengan NPL tinggi, pemerintah justru malah menambah kuota rumah subsidi.
“Dengan demikian dari sisi perbankan harus lebih selektif lagi dan dari sisi pemerintah harus bisa berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti DPD REI, BTN, BJB, BJB Syariah, Bank Mandiri, APERSI, Bank BPD, BPN, PLN, PDAM guna memberikan kemudahan pembelian rumah,” kata Hady.(***)