Oleh: H. Defi Nuryadin S.IP.,MM. – Akdemisi Kampus STISIP Banten Raya (Pemerhati Tata Kelola Pemerintahan dan Kebijakan Daerah )
BANTENRAYA.COM – Pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten tahun 2025 menandai fase penting dalam perjalanan pembangunan daerah. Sekda bukanlah jabatan administratif biasa.
Ia adalah dirigen dari seluruh orkestra birokrasi, jembatan utama antara visi politik kepala daerah dan kerja teknokratis organisasi perangkat daerah (OPD).
Dalam konteks Banten yang menghadapi tantangan dan ketimpangan wilayah yang cukup tajam, Sekda dituntut bukan hanya piawai mengatur birokrasi, tetapi juga mampu mendesain arah kebijakan yang progresif dan berdampak langsung ke masyarakat.
Selama ini, tidak sedikit kebijakan daerah mandek di meja koordinasi atau hilang dalam tumpukan dokumen perencanaan.
Baca Juga: Link War Tiket Konser My Chemical Romance, Beserta Rincian Harga Dibuka Hari Ini 9 Juli 2025
Di sinilah peran vital Sekda—mengubah tumpukan rencana menjadi aksi nyata, menjahit antarprogram menjadi satu harmoni pembangunan yang berdampak.
Untuk itu, dibutuhkan desain kebijakan strategis yang tidak hanya elegan di atas kertas, tetapi berani, terukur, dan akuntabel dalam pelaksanaannya.
Pertama, penajaman fokus pembangunan berbasis wilayah menjadi kunci. Realitas Banten hari ini menunjukkan ketimpangan nyata antara wilayah utara (Tangerang Raya) dan selatan (Lebak–Pandeglang).
Maka, kebijakan strategis Sekda harus berpijak pada peta spasial pembangunan. Apa yang dibutuhkan di utara belum tentu relevan di selatan.
Baca Juga: Tingkatkan Kemampuan Literasi Siswa Melalui Komik Pembelajaran Digital KISUCA
Maka, Sekda harus mendorong pendekatan pembangunan yang bersifat diferensial dan adaptif. Kedua, penguatan pelayanan publik digital perlu diletakkan sebagai prioritas.
Era saat ini menuntut kecepatan, transparansi, dan efisiensi. Sekda harus memastikan bahwa semua layanan dasar—administrasi kependudukan, perizinan, bantuan sosial, kesehatan, hingga pendidikan—dapat diakses masyarakat melalui platform digital yang terintegrasi.
Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) harus menjadi tulang punggung reformasi pelayanan, bukan sekadar proyek pencitraan.
Ketiga, pemberdayaan sumber daya manusia lokal menjadi investasi jangka panjang. Data BPS 2024 menunjukkan angka pengangguran di Banten terutama pada lulusan SMA/SMK. Februari 2024 (Sakernas) Dari publikasi BPS Provinsi Banten: Lulusan SMA: 7,05%Lulusan SMK: 9,01% Sumber media Kompas Regional menegaskan: Lulusan SMK: 12,85% (tertinggi di antara jenjang pendidikan) Perbedaan persentase ini menunjukkan bahwa meskipun TPT SMK secara keseluruhan 9,01%, porsi dominasi SMK sebagai penyumbang pengangguran sangat besar, mencapai hingga 12–13% dari total pengangguran. Kesenjangan antara data nasional dan provinsi menandakan tantangan lokal dalam penyerapan lulusan menengah.
Baca Juga: Hendak Keluar Rumah Saat Hujan Petir, Warga Pasirdurung Pandeglang Tewas Tersambar Petir
Titik tekanan utama adalah menciptakan link and match antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri lokal.
Dari publikasi BPS Provinsi Banten, maka, Sekda perlu mendorong kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, industri, dan lembaga pendidikan vokasi untuk menggenjot pelatihan kerja dan membangun ekosistem kewirausahaan muda berbasis desa.
Keempat, membangun sistem evaluasi kebijakan berbasis data real-time. Kebijakan yang tidak dimonitor akan kehilangan arah.
Sekda perlu membentuk sistem dashboard kinerja yang memungkinkan setiap OPD, bahkan publik, memantau progres program secara terbuka. Transparansi bukan ancaman, melainkan fondasi kepercayaan.
Kelima, kemitraan lintas aktor atau pentahelix harus menjadi ruh pelaksanaan kebijakan.
Sekda tak boleh bekerja dalam ruang tertutup birokrasi. Dunia usaha, akademisi, media, dan masyarakat sipil harus diajak duduk bersama merancang dan mengawal implementasi pembangunan. Inilah era di mana kolaborasi adalah strategi, bukan opsi.
Yang terpenting, Sekda harus memiliki keberpihakan yang jelas. Desain kebijakan tidak boleh netral terhadap ketimpangan.
Ia harus berpihak pada desa tertinggal, kelompok rentan, dan generasi muda yang belum terserap lapangan kerja.
Baca Juga: Puluhan Warga Kabupaten Serang Positif HIV, Kecamatan Waringinkurung Paling Banyak
Tanpa keberpihakan, kebijakan hanya akan jadi rutinitas tanpa arah. Desain kebijakan strategis Sekda Banten 2025 harus menjawab tantangan dengan cara baru. Bukan sekadar mengikuti prosedur, tetapi berani menciptakan jalur terobosan.
Banten tidak butuh birokrat biasa. Banten butuh pemimpin teknokratik yang punya nyali membawa perubahan nyata.
Saat ini publik Banten tengah menaruh harapan besar pada wajah baru birokrasi di lingkup Pemerintah Provinsi Banten.
Pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten tahun 2025 menjadi momentum penting yang tak bisa dianggap biasa. Dalam sistem pemerintahan daerah, Sekda bukan sekadar pejabat administratif, melainkan aktor kunci dalam memastikan mesin birokrasi berjalan efektif, terkoordinasi, dan berorientasi pada hasil. Tantangan pembangunan daerah kian kompleks.
Kesenjangan wilayah utara–selatan, pengangguran yang masih tinggi, tata ruang yang belum optimal, hingga layanan publik yang belum merata menjadi bukti bahwa reformasi birokrasi harus segera dipercepat.
Sekda sebagai jembatan antara visi gubernur dan kerja teknis perangkat daerah, harus mampu mengubah pendekatan lama yang sektoral menjadi pendekatan yang kolaboratif, berbasis data, dan berpihak pada rakyat.
Untuk menjawab kompleksitas tersebut, pendekatan Robert Clohk tentang kebijakan strategis dapat dijadikan rujukan. Clohk melihat kebijakan publik sebagai proses pilihan rasional dalam situasi yang penuh ketidakpastian.
Kebijakan tidak dibuat dalam ruang hampa, tapi harus mempertimbangkan banyak variabel, termasuk kondisi ekonomi, kapasitas lembaga, dan dinamika sosial-politik.
Baca Juga: Siswa GIS Berhasil Kuliah Jalur Bea Siswa dan Jalur Mandiri di Luar Negeri
Pendekatan Clohk menekankan tiga elemen penting: formulasi strategis, pilihan alternatif (strategic choice), dan manajemen implementasi adaptif.
Dalam konteks Banten, Sekda harus merumuskan kebijakan yang tidak hanya normatif dan prosedural, tetapi mampu menjawab akar persoalan pembangunan dengan pendekatan berbasis data dan konteks lokal.
Clohk juga menekankan pentingnya mempersiapkan jalur alternatif kebijakan, bukan hanya satu solusi tunggal.
Misalnya, dalam pemberdayaan desa, Sekda dapat menyiapkan tiga skenario: penguatan BUMDes menjadi social enterprise, kemitraan dengan sektor swasta, dan integrasi bantuan desa dengan program pelatihan kerja.
Baca Juga: Dukung Pembangunan Berkelanjutan, Green Financing BRI Terus Tumbuh Capai Rp89,9 Triliun
Ketiga opsi ini bisa disesuaikan dengan karakteristik lokal tiap kabupaten. Selanjutnya, implementasi tidak bisa lagi dijalankan dengan pendekatan kaku.
Sekda perlu mendorong monitoring dan evaluasi kebijakan secara real-time, berbasis dashboard kinerja.
Koordinasi antar-OPD bukan hanya rutinitas rapat, tapi forum pengambilan keputusan cepat berdasarkan data lapangan.
Yang tak kalah penting, pendekatan Clohk mengingatkan bahwa birokrasi daerah perlu memiliki pemimpin perubahan (change leader),Dalam konteks Banten, Sekda harus mampu menggerakkan perubahan budaya kerja birokrasi: dari administratif menjadi strategis, dari prosedural menjadi solutif.
Baca Juga: Hilang Tiga Bulan, Warga Kabupaten Serang Yang Punya Kelainan Mental Ditemukan di Kalimantan Barat
Kebijakan strategis tidak lahir dari rutinitas, tetapi dari keberanian membuat pilihan rasional dan berpihak.
Jika Banten ingin keluar dari stagnasi pembangunan dan memperkecil kesenjangan wilayah, maka Sekda 2025 harus menjelma sebagai pemimpin strategis yang berani berpikir jauh ke depan Sekda tidak cukup hanya mahir mengurus administrasi.
Ia harus menjadi motor strategi pembangunan. Tahun 2025 adalah tahun terakhir dari RPJMD Banten 2021–2026.
Artinya, Sekda baru harus bergerak cepat menuntaskan target-target yang belum tercapai, sekaligus menyiapkan fondasi transisi menuju perencanaan jangka menengah berikutnya.
Peran Sekda Banten 2025 harus melampaui rutinitas administratif. Ia harus menjadi penggerak perubahan, bukan penjaga status quo.
Ia harus berani membangun tata kelola pemerintahan yang melibatkan masyarakat, mendorong keterbukaan informasi, dan menjadikan data sebagai dasar pengambilan keputusan.
Banten membutuhkan Sekda yang tidak sekadar loyal kepada atasan, tetapi juga memiliki komitmen penuh pada pelayanan publik dan reformasi sistemik.
Sekda yang berani mengambil risiko untuk perubahan. Karena Banten tidak bisa dibangun dengan cara lama untuk menjawab tantangan masa depan. ***