Oleh Adib Miftahul, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Unis
BANTENRAYA.COM – Puasa Ramadan merupakan perjalanan menuju penyucian jiwa dan kesadaran yang lebih tinggi, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga. Filsuf Muslim Al-Kindi menekankan kesempurnaan jiwa berkaitan dengan pengendalian nafsu.
Menurutnya, jiwa yang sempurna adalah yang mampu mengendalikan nafsu. Dalam konteks puasa, ini berarti pengendalian diri berdampak pada tubuh dan pada aspek spiritual.
Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang menyatakan bahwa puasa bukan hanya soal tidak makan dan minum.
Baca Juga: Daftar Promo Tiket Tempat Wisata Selama Libur Lebaran 2025, Dari Taman Safari Hingga Trans Studio
Tetapi menahan diri dari dosa-dosa batin seperti kesombongan, iri hati, dan hawa nafsu. Gagasan serupa disampaikan Ibnu Sina yang meyakini bahwa kesehatan spiritual berkontribusi terhadap kesehatan fisik.
Baginya, puasa adalah salah satu cara untuk menjaga keseimbangan tubuh dan jiwa, karena manusia harus menahan diri dari berlebihan dalam konsumsi dan mengontrol emosinya.
Filsuf lainnya Ibnu Maskawaih bahkan berpandangan puasa adalah bentuk pendidikan moral yang memungkinkan individu untuk mengasah disiplin dan pengendalian diri.
Baca Juga: Terkena Penyakit Kolesterol? Ini Makanan yang Perlu Dihindari
Filsuf Yunani dan Barat juga memiliki pendapat yang sama tentang puasa. Socrates misalnya, menyatakan bahwa jiwa yang kuat adalah jiwa yang mampu mengendalikan keinginannya.
Dalam konteks puasa, ini dapat diartikan sebagai latihan untuk menahan nafsu dan mencapai kebijaksanaan. Plato dalam Republik menyebutkan bahwa pengendalian diri adalah salah satu pilar utama dalam membangun jiwa yang harmonis.
Puasa, sebagai bentuk latihan pengendalian diri, membantu manusia mencapai keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Pendapat serupa dituliskan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics. Menurutnya, kebiasaan baik hanya bisa terbentuk melalui latihan yang berulang.
Baca Juga: BRImo, Super Apps Persembahan BRI untuk Solusi Transaksi Tanpa Hambatan di Libur Lebaran 2025
Puasa merupakan latihan moral yang membentuk karakter dan meningkatkan kebajikan. Rene Descartes dengan konsepnya ‘saya berpikir, maka saya ada (cogito ergo sum)’, mengajarkan bahwa refleksi adalah bagian dari eksistensi manusia.
Puasa memberikan kesempatan bagi individu untuk merenungkan kehidupannya dan menemukan makna yang lebih dalam melalui refleksi tersebut.
Beberapa filsuf melihat pentingnya puasa Ramadan sebagai struktur sosial dalam membangun kesadaran kolektif. Dalam pandangan Auguste Comte misalnya, puasa dengan aspek sosialnya yang kuat dapat menjadi momentum memperkuat solidaritas dan kepedulian sosial.
Baca Juga: 10 Ucapan Lebaran 2025 Bahasa Jawa untuk Diunggah di Media Sosial, Tinggal Copy Paste
Thomas Kuhn dengan konsep paradigm shift menekankan bagaimana perubahan besar terjadi ketika manusia mampu melihat realitas dengan perspektif baru. Puasa menawarkan kesempatan untuk mengubah pola pikir dan gaya hidup, menjauh dari konsumsi berlebihan menuju kehidupan yang lebih sederhana dan bermakna.
Sama seperti Jurgen Habermas yang melihat komunikasi sebagai inti dari interaksi sosial yang sehat. Dalam konteks puasa, komunikasi dengan diri sendiri dan orang lain menjadi lebih jujur dan bermakna. Karena individu belajar untuk memahami diri sendiri serta meningkatkan empati terhadap orang lain.
Di Indonesia, beberapa filsuf dan cendekiawan Muslim memberikan pemikiran mendalam tentang makna Ramadan. Hamka misalnya, menekankan bahwa puasa adalah jalan untuk mencapai ketakwaan dan disiplin diri.
Baginya, Ramadan bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga momentum untuk introspeksi dan perbaikan moral individu. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melihat Ramadan sebagai waktu untuk membangun kesadaran sosial dan menumbuhkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Gus Dur menganggap Ramadan sebagai momen persaudaraan semua umat diajak untuk berbagi dan menegakkan keadilan sosial.
Franz Magnis Suseno menyoroti bahwa puasa bukan hanya bentuk ibadah individual, tetapi juga mengandung makna etis yang dalam. Dalam pemikirannya, puasa mencerminkan perjuangan melawan keserakahan dan dorongan untuk hidup lebih sederhana, selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Senada dengan Fahrudin Faiz yang menegaskan bahwa puasa memiliki dimensi spiritual mendalam. Menurutnya, Ramadan adalah waktunya manusia diajak untuk lebih memahami esensi dirinya dan menata ulang kehidupannya, baik dalam aspek spiritual maupun sosial.
Dalam konteks sosial, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) melihat Ramadan sebagai momen solidaritas dengan mereka yang kurang mampu.
Dalam kajiannya, Ramadan seharusnya tidak hanya menjadi ibadah personal, tetapi juga menjadi sarana untuk membangun kesadaran kolektif dan menumbuhkan empati sosial. Sementara Nurcholish Madjid (Cak Nur) menafsirkan Ramadan sebagai ajang pembaruan diri.
Baca Juga: Cegah Penyakit Komplikasi Usai Lebaran, Simak Tips Jaga Pola Makan Hindari Gula dan Kolesterol
Ia berargumen bahwa puasa adalah sarana penyucian jiwa dan kesempatan untuk memperbaiki karakter manusia agar lebih inklusif, terbuka, dan memiliki kesadaran transendental yang lebih tinggi.
Karena itu, puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, namun tentang melatih kemampuan manusia dalam berpikir kritis terhadap struktur sosial yang ada, terutama dalam melihat fenomena ketidakadilan.
Puasa merupakan bentuk kesadaran ekologis karena manusia diajak untuk lebih menghargai sumber daya alam, mengurangi konsumsi berlebihan, serta membangun hubungan yang lebih harmonis dengan lingkungan.
Baca Juga: Gelapkan Truk Perusahaan, Pria Asal Pontang Gagal Lebaran Bareng Keluarga
Dengan menyelami makna puasa dari perspektif filsafat Islam, modern, dan sosial, kita memahami bahwa Ramadan bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga latihan kesadaran diri, pengendalian nafsu, serta momentum untuk menciptakan perubahan sosial.
Dari Al-Kindi hingga Karl Marx, dari Ibnu Sina hingga Tan Malaka dan Neneng Rosdiyana, serta dari Hamka hingga Saras Dewi, puasa selalu dimaknai sebagai bentuk refleksi dan perjuangan menuju kehidupan yang lebih bermakna.
Jadi, hikmah puasa dalam konteks kekinian adalah menjadikan pribadi berkarakter kesalihan sosial.
Muslim terbaik bukanlah orang yang paling tahu, tetapi orang yang mengamalkan apa yang mereka ketahui dengan cara konsisten memberi manfaat bagi orang lain.
Baca Juga: 233 Napi Lapas Kelas III Rangkasbitung Dapat Remisi Khusus Idulfitri, 4 Langsung Bebas
Biarkan keimanan terlihat dalam kebaikan, kejujuran, dan belas kasih, bukan ritual ibadah dogma agamis saja.
Allah lebih terkesan dengan orang mukmin yang baik, penyayang, dan suka menolong meskipun mereka kurang ilmunya, sekali lagi bukan dengan simbol-simbol spiritualitas.
Jika doamu tidak membuatmu lebih sabar, jika puasamu tidak membuatmu lebih penyayang, dan jika ilmumu tidak membuatmu lebih rendah hati, jadi apa yang sebenarnya kau peroleh?***