BANTENRAYA.COM – Rumah dinas eks Asisten Residen Kolonial Belanda Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama lain Multatuli, salah satu bangunan bersejarah di Kabupaten Lebak yang kini berstatus sebagai cagar budaya kondisinya terbengkalai dan memprihatinkan.
Bangunan yang masih berada di lingkungan RSUD Adjidarmo Rangkasbitung itu kondisinya terlihat usang yang tampak kumuh dan tidak terawat.
Bagian halaman, kosen pintu, serta jendelanya berdebu dan ditumbuhi rumput liar. Cat dindingnya pun sudah banyak yang terkelupas dan menghitam.
Baca Juga: Diduga Bunuh Diri, Warga Banjarsari Temukan Pria Meninggal di Sebuah Rumah Kontrakan
Kepala Museum Multatuli, Ubaidillah Muhtar mengatakan bahwa sebetulnya upaya untuk melestarikan bangunan bersejarah tersebut sebelumnya sempat pernah dirancang.
Tahun 2018 silam, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak telah melakukan kajian rencana revitalisasi.
Rencana tersebut kemudian berlanjut pada tahun 2020. Saat itu, Pemkab Lebak sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 miliar.
Baca Juga: Jaga Investor dari Gangguan Ormas, Wagub Banten Siap Pasang Badan
Sayangnya, rencana tersebut batal direalisasikan lantaran bencana Covid-19 melanda.
“Sayangnya, saat itu terjadi pandemi COVID-19, dan seluruh anggaran dialihkan untuk penanganan dampak kesehatan dan sosial. Hingga kini, rencana itu belum bisa dilanjutkan karena kendala biaya,” kata Ubai pada Rabu, 7 Mei 2025.
Ubai juga turut sedikit menceritakan sedikit perjalanan bangunan tersebut hingga ditetapkan sebagai cagar budaya.
Baca Juga: Sekolah Swasta Gratis di Banten, SPP Kini Dibayar Otomatis Lewat Rekening Siswa
Kata dia, bangunan eks rumah dinas Multatuli dibangun pada abad ke-19 dan juga menjadi saksi bisu perjuangan Edward Douwes Dekker untuk membela keadilan bagi masyarakat Lebak pada tahun 1856.
Dekker menempati bangunan itu selama 84 hari yang saat itu dirinya menjabat sebagai Asisten Residen Lebak.
Ubai kemudian melanjutkan, bangunan seluas 144 meter persegi tersebut pernah berubah fungsi beberapa kali.
Mulai dari markas tentara kolonial pada 1850, tempat rawat tentara Belanda tahun 1852, hingga menjadi gudang obat RSUD Adjidarmo pada awal tahun 2000an
“Bangunan seluas 144 meter persegi itu resmi diakui sebagai cagar budaya sejak 2011, namun perubahan fungsi dan peristiwa besar seperti letusan Gunung Krakatau 1883 dan pemberontakan petani 1888 turut mengubah wajah aslinya,” terangnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Kabupaten Lebak, Luli Agustina mengatakan bahwa wacana revitalisasi belum dihapus dari agenda pemerintah daerah.
Baca Juga: Beasiswa Juare Resmi Diluncurkan, Pemkot Cilegon Gandeng 5 Industri Lokal
Namun, waktu pelaksanaannya masih belum bisa ditentukan.
“Pemkab tetap mempertimbangkan rencana revitalisasi, tetapi keuangan daerah belum memungkinkan. Kami masih menunggu momen yang tepat saat anggaran tersedia,” kata Luli. ***