oleh Muhamad Fauwzi Ramadhan
Reformulasi Politik: Gelombang Perubahan yang Tak Terhindarkan
Bayangkan sebuah pabrik yang dulunya menjadi simbol relasi industrial antara pekerja dan negara, penuh dinamika sosial dan peran politik serikat buruh. Kini, ruang tersebut dikuasai oleh algoritma dan lengan-lengan robot yang bekerja tanpa intervensi manusia, diawasi oleh segelintir operator teknis. Transformasi ini bukan sekadar perubahan teknologi, melainkan gejala politis dari Revolusi Industri 4.0 yang mereposisi kekuasaan produksi dari tenaga kerja manusia ke entitas digital dan otomatis.
Teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI), robotika, dan Robotic Process Automation (RPA) tidak hanya mengubah lanskap ekonomi, tetapi juga mendefinisikan ulang kontrak sosial antara negara, pasar, dan warga negara. Pekerjaan yang paling terdampak adalah yang bersifat rutin dan berbasis aturan, jenis pekerjaan yang selama ini menopang stabilitas ekonomi politik di sektor informal dan berpenghasilan rendah seperti manufaktur, ritel, dan administrasi.
Dalam kerangka ini, seperti yang dinyatakan oleh Sinha (2024), otomatisasi merupakan kekuatan disruptif yang bukan hanya bersifat teknologis, tetapi juga politis, dengan kapasitas untuk meredefinisi struktur kekuasaan dan legitimasi sistem ketenagakerjaan global dalam dua dekade mendatang.
Wajah Ancaman di Tiga Sektor Utama:
1. Sektor Manufaktur: Lengan Robot di Lini Produksi
Sektor manufaktur, yang selama ini menjadi fondasi kekuatan ekonomi dan daya tawar negara berkembang dalam tatanan ekonomi global, kini menghadapi ancaman sistemik akibat percepatan otomatisasi. Peran buruh manual secara bertahap digantikan oleh robot industri untuk proses seperti perakitan, pengelasan, hingga pengemasan. Bahkan, kendaraan otomatis (AGVs) kini mengambil alih fungsi distribusi internal yang dulunya dijalankan oleh pekerja logistik.
Menurut Oxford Economics (2019) bahwa hingga 20 juta pekerjaan manufaktur dapat hilang secara global pada tahun 2030. Ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga politik, khususnya bagi negara-negara berkembang seperti Bangladesh yang struktur industrinya sangat bergantung pada upah murah sebagai daya saing global. Studi Bashar et al. (2024) menegaskan bahwa otomatisasi tidak sekadar menggantikan pekerja manusia, namun berpotensi merobohkan arsitektur ketergantungan global yang selama ini menopang relasi antara pusat (negara industri maju) dan pinggiran (negara penghasil tenaga kerja murah).
Dalam perspektif geopolitik ekonomi, pernyataan Bashar (2024) bahwa
“otomasi mengancam rantai pasok global berbasis upah murah”
Menyoroti adanya pergeseran kekuasaan dari buruh sebagai aktor politik ke dalam kendali teknologi yang dimiliki korporasi multinasional. Ini menuntut negara-negara berkembang untuk merumuskan ulang strategi industrialisasi agar tidak terjebak dalam ketergantungan teknologi dan kerentanan sosial-ekonomi yang berkepanjangan. (Bashar et al., 2024)
2. Sektor Retail: Toko Tanpa Kasir dan Gudang Otomatis
Transformasi sektor retail melalui teknologi seperti self-checkout, toko otomatis ala Amazon Go, hingga robotisasi gudang bukan hanya merevolusi pola konsumsi, melainkan juga memperdalam ketimpangan relasi kekuasaan antara korporasi dan pekerja. Pekerjaan-pekerjaan seperti kasir, penjaga rak, dan staf logistik yang sebelumnya menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi lokal, kini terancam oleh algoritma dan mesin yang tak mengenal jam kerja.
Data dari Bureau of Labor Statistics (2023) menunjukkan penurunan signifikan dalam proyeksi pertumbuhan pekerjaan kasir di Amerika Serikat, indikasi konkret dari perubahan struktural yang sedang berlangsung. Namun lebih dari itu, studi oleh Rolf & Hunt (2022) mengungkap bahwa otomatisasi di sektor retail tak hanya soal efisiensi, tetapi juga instrumen baru untuk memperluas kontrol manajerial terhadap tubuh dan waktu pekerja.
Dalam perspektif ilmu politik, ini menandakan munculnya bentuk baru surveillance capitalism, di mana teknologi tidak hanya menggantikan manusia, tetapi juga memodulasi perilaku pekerja yang tersisa melalui algoritma, target KPI otomatis, dan sistem pelaporan berbasis data. Ketidakamanan kerja yang diciptakan bukan lagi konsekuensi pasif, tetapi strategi aktif yang memperlemah posisi tawar kolektif buruh dalam negosiasi upah, jam kerja, dan jaminan sosial. Dengan demikian, otomatisasi retail tidak netral, ia adalah bentuk politik ketenagakerjaan yang memperkuat dominasi kapital dalam ruang kerja digital.
3. Sektor Administrasi: Algoritma yang Menggeser Admin
Di tengah gelombang digitalisasi, sektor administrasi turut mengalami pergeseran mendalam akibat adopsi teknologi seperti Robotic Process Automation (RPA). Proses-proses yang dulunya dilakukan oleh pegawai administrasi; mulai dari input data, pengolahan invoice, hingga layanan pelanggan, kini dijalankan oleh algoritma dan chatbot, yang bekerja tanpa interupsi dan tanpa hak-hak ketenagakerjaan.
Willcocks (2020) menyebut RPA sebagai
“salah satu teknologi paling cepat menggeser pekerjaan white-collar dasar.”
Posisi seperti data entry clerk, resepsionis, dan akuntan junior menjadi semakin rentan. (Willcocks, 2020. Journal of Information Technology)
Ketika negara dan sektor swasta secara bersamaan mengalgoritmiskan tugas-tugas administratif, bukan hanya efisiensi yang dicapai, tetapi juga terjadi pergeseran dalam legitimasi pelayanan publik. Keterputusan antara warga dan representasi manusiawi dalam layanan negara menciptakan jurang kepercayaan yang dapat menggerus legitimasi demokratis, apalagi bila disertai dengan hilangnya jaminan kerja bagi kelas administratif yang selama ini menjadi basis loyalitas birokrasi. Ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan pergeseran mendalam dalam struktur kekuasaan administrasi modern.
Mengapa Pekerjaan Ini Sangat Rentan?
Semakin terstandar dan repetitif sebuah pekerjaan, semakin besar kemungkinan pekerjaan itu untuk diotomatisasi menurut Holzer (2022)
Karakteristik pekerjaan yang mudah terotomatisasi:
- Rutin dan Repetitif → seperti penginputan data atau pengemasan barang.
- Rule-based → keputusan hanya berdasarkan SOP tanpa pertimbangan kognitif kompleks.
- Kebutuhan Ketelitian Tinggi → lebih cocok dilakukan oleh robot daripada manusia.
Keunggulan mesin: 24/7 uptime, tidak minta gaji, akurasi tinggi, dan tidak menuntut cuti sakit.
Adapun Dampak Sosial yang Lebih Luas
Polarisasi Tenaga Kerja
Fenomena hollowing out of the middle menggambarkan krisis struktural dalam pasar tenaga kerja yang berdampak langsung pada konfigurasi kelas sosial-politik. Ketika lapangan pekerjaan tingkat menengah menyusut, dan hanya menyisakan ekspansi pada sektor keterampilan tinggi dan pekerjaan kasar berupah rendah, maka kelas menengah, yang secara historis menjadi basis kestabilan politik dan partisipasi demokratis, terancam kehilangan peran strategisnya. Ini bukan hanya transformasi ekonomi, tetapi juga delegitimasi diam-diam terhadap sistem representasi sosial yang selama ini menopang demokrasi elektoral dan kebijakan inklusif.
Di saat yang sama, pergeseran buruh manufaktur ke sektor informal memperburuk kompetisi, menurunkan upah, dan memperlebar jurang keterampilan. Kegagalan institusi pendidikan dan pelatihan nasional dalam menjembatani kesenjangan ini memunculkan risiko politis: munculnya populisme kelas bawah, alienasi politik, hingga ketidakpercayaan terhadap negara. Oleh karena itu, investasi dalam pelatihan ulang dan kebijakan redistribusi keterampilan harus dipahami sebagai strategi politik, bukan sekadar program teknokratis, demi menjaga stabilitas sosial dalam era disrupsi digital.
Antisipasi dan Adaptasi: Apakah Semua Suram?
Meskipun gelombang otomatisasi tak terhindarkan, bukan berarti masa depan kerja akan suram. Pemerintah memiliki peran strategis dalam memastikan transisi ini tidak menimbulkan krisis sosial. Reformasi kurikulum nasional perlu menekankan soft skills seperti pemikiran kritis, kreativitas, dan kolaborasi, kemampuan yang sulit digantikan oleh mesin. Selain itu, program reskilling dan upskilling berskala nasional seperti Digital Talent Scholarship dari Kominfo menjadi contoh konkret upaya peningkatan kompetensi digital. Di saat yang sama, jaring pengaman sosial seperti perluasan BPJS Ketenagakerjaan dan tunjangan pengangguran selama masa transisi menjadi vital untuk melindungi pekerja terdampak.
Dari sisi dunia usaha, transisi menuju otomatisasi idealnya dilakukan secara bertanggung jawab, bukan hanya efisiensi biaya, tetapi juga dengan mempertimbangkan masa depan karyawan. Perusahaan dapat mengadopsi pendekatan kolaboratif bersama serikat pekerja untuk menyusun jalur alih profesi, termasuk pelatihan ulang agar pekerja dapat bergeser ke peran yang lebih teknis, seperti operator robot, teknisi sistem, atau analis data. Sementara itu, di tingkat individu, lifelong learning bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan untuk bertahan. Mengembangkan keterampilan yang “manusiawi” seperti empati, komunikasi interpersonal, dan kreativitas, akan menjadi keunggulan utama manusia dalam dunia kerja yang semakin terdigitalisasi.
Inikah Era Memanusiakan Mesin?
Sebagai seorang mahasiswa, otomatisasi membawa efisiensi luar biasa, namun tanpa mitigasi yang tepat, ia juga dapat menciptakan dislokasi sosial yang mendalam. Tantangan kita bukan menghentikan robot, tapi menempatkan manusia di pusat perubahan itu.
Adapula relevansi bacaan yang sangat saya kagumi seperti yang disampaikan oleh Dellot & Wallace-Stephens (2019) dalam The Age of Automation:
“Kita perlu sistem kerja yang tidak hanya produktif, tapi juga adil dan manusiawi.”
Penulis adalah Mahasiswa Semester 1, Pengantar Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UNTIRTA ★