Oleh : Muhaimin
Republik Indonesia akan merayakan ulang tahun ke 80 pada 17 Agustus 2025 nanti. Umur 80 tahun bagi sebuah entitas, dalam hal ini NKRI tentu sudah cukup matang baik secara jasmani dan rohani. Sudah banyak capaian yang bisa dinikmati warganya seperti kehidupan nir penjajahan terutama secara fisik dan tumbuhnya demokratisasi dalam semua aspek. Pengaturan kekuasaan juga tertata dengan baik melalui Pemilu yang dilakukan secara berkala dan sistemnya terus mengalami banyak perubahan atau penyempurnaan meski pada praktiknya masih tampak trial and error.
Meski demikian, seiring dengan penambahan usia banyak persoalan latent muncul ke permukaan. Seperti turnnya trust masyarakat pada penegakan hukum, isu ketidakadilan, kemiskinan, daya saing negara rendah, dan berseminya sistem politik oligarki dimana bentuk pemerintahan atau sistem kekuasaan politik, ekonomi, atau sosial terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok kecil. Politik oligarki sudah menjadi fenomena terutama dalam iklim demokrasi modern Indonesia. Tidak saja dimainkan di tataran elit pusat namun sudah menjadi kelaziman politisi lokal dalam setiap momen politik. Imbasnya, kesempatan anak bangsa yang memiliki kompetensi dan integritas untuk berkonsirubusi kepada kemajuan bangsa sangat terbatas. Celakanya, ekosistem politik yang terbentuk jauh dari norma-norma yang berlaku bahkan semakin mengkonfirmasi pernyataan Lord Acton (1833-1902) bahwa “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan absolut pasti korup).
Secara formal, demokrasi yang terbangun saat ini memang cukup meyakinkan. Sedikit-sedikit kata demokrasi selalu menjadi senjata penguasa untuk “memaksakan”kehendak atau syahwat politik dan kekuasaan. Namun dalam tataran praktis, demokrasi ini ternyata tidak bisa menjadi oase rakyat yang terus menata kehidupan dan membuat peradaban yang lebih baik. Mencari pekerjaan masih sangat sulit. Sekolah tinggi tidak menjamin mendapat pekerjaan layak. Merubah status tenaga honorer menjadi pegawai pemerintah harus menunggu puluhan tahun karena sistem merit tidak berjalan, dan banyak lagi masalah latent yang tidak bisa dipecahkan pengelola negeri ini hingga Indonesia berusia 80 tahun. Tidak heran kalau kemudian ada ungkapan bahwa demokrasi yang berjalan hanyalah pseudo atau demokrasi palsu yang ditandai oleh berjalannya sistem pemerintahan yang secara formal terlihat seperti demokratis, namun pada praktiknya tidak sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang ditandai oleh adanya partisipasi rakyat, kebebasan sipil, dan supremasi hukum.
Baca Juga: Contoh Rundown Acara HUT RI ke 80
Sistem ini seringkali menggunakan mekanisme demokratis untuk melegitimasi kekuasaan, tetapi sebenarnya didominasi oleh elite politik atau kelompok tertentu yang mengendalikan keputusan dan kebijakan. Padahal lebih dari itu, demokrasi idealnya menyajikan keseimbangan dan keadilan, bahkan John Dewey mengistilahkann demokrasi dengan way off life atau pandangan hidup dimana pendidikan menjadi kunci dalam membekali warga negara dengan kemampuan berpikir dan berdialog. Meminjam pendapat Martin Luther King Jr “The time is always right to do what is right” Demokrasi adalah keberanian untuk melakukan yang benar, keberanian untuk bertindak demi kebenaran. Dan demokrasi yang sejati hanya bisa hidup dalam dialog terbuka, kesadaran kritis, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang lebih besar dari sekadar perebutan kekuasaan.
Tatanan demokrasi seperti tergambar di atas disadari atau tidak akan membuat generasi bangsa cemas. Sementara tahun 2045 yang dicanangkan pemerintah sebagai masa-masa kejayaan Republik Indonesia yakni Indonesia Emas sudah di depan mata. Kebijakan-kebijakan pemerintah untuk mencapai masa keemasan hampir tidak dirasakan, kecuali kebijakan populis yang muaranya sukses dalam setiap kontestasi atau elektoral oriented. Roda perekonomian masih sulit, ditandai dengan maraknya pengangguran serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak terjadi dan gunungan uang hasil korupsi penyelenggara negara dan pengusaha menghiasai headline pemberitaan media massa. Rasanya, nasionalisme yang tertanam di dada meronta dan rawan tercerabut jika melihat kondisi bangsa saat ini. T
ak heran di jagat media sosial kerap muncul sura-suara sumbang yang merefleksikan betapa beratnya persoalan di Repuplik ini seperti tagar #KaburAjaDulu. Gerakan yang ramai di media sosial Indonesia, terutama di kalangan anak muda sebagai ekspresi kekecewaan terhadap kondisi sosial dan ekonomi negara, dan mendorong orang untuk mempertimbangkan mencari peluang di luar negeri. Bahkan di awal bulan Agustus yang sakral, jagat maya Indonesia disuguhkan dengan meme yang cukup mengusik rasa nasionalisme yakni maraknya pengibaran bendera Jolly Roger berdampingan dengan Merah Putih. Bendera Jolly Joger dianggap panji perlawanan yang dalam serial One Piece mencerminkan semangat perjuangan, kebebasan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan, nilai-nilai yang dirasa lebih membumi di tengah keresahan sosial dan politik saat ini.
Baca Juga: Daftar Lagu yang Cocok untuk Diputar Pada HUT RI 17 Agustus, Lengkap Disertai dengan Lirik
Namun, lari dari kenyataan tidak sepenuhnya pilihan positif. Terlebih bagi rakyat jelata, pengangguran, atau buruh dan petani gurem yang secara sumber daya sangat lemah utuk ikut trend #KaburAjaDulu. Menghadapi persoalan dan mencari jalan keluar tetap akan lebih terhormat “hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang” demikian pepatah bijak yang sering kita dengar. Ihtiar melakukan perbaikan memang bisa dilakukan oleh siapa saja. Si miskin dan si kaya punya talenta ini. Syaratnya tetap harus berpangkap dari para penyelenggara negara dengan cara kembali ke marwah sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat. Bukan menjadi elit, borjuasi atau sirkel kekuatan yang asyik menikmati kekuasaan dan memonopoli kebenaran. Perayaan hari kemerdekaan Indonesia ini tepat untuk dijadikan momentum terutama oleh para penyelenggara negara memperbaiki langkah sekaligus meneguhkan komitmen para pendiri bangsa ini menjadikan tatanan kehidupan yang baik dan beradab. Merdeka !