BANTENRAYA.COM – Indonesia adalah anugerah yang tidak ternilai. Negeri ini terhampar dari Sabang hingga Merauke, dipenuhi laut biru, pegunungan megah, hutan tropis, dan yang paling istimewa jutaan manusia yang berbeda latar belakang, suku, bahasa, dan agama.
Semua keberagaman itu adalah warna-warni mozaik yang membentuk identitas bangsa. Namun, sebagaimana mozaik, satu kepingan yang retak dapat mengganggu keindahan keseluruhannya.
Moderasi beragama adalah perekat yang menjaga setiap kepingan itu tetap menyatu. Ia bukan sekadar jargon, melainkan sikap hidup yang menyeimbangkan keteguhan memegang prinsip dengan penghormatan pada keyakinan orang lain.
Baca Juga: Whoosh Berikan Promo Merah Putih Berupa Potongan Harga Tiket Rp45 Ribu, Berikut Jadwalnya
Moderasi menolak fanatisme sempit yang menganggap hanya dirinya yang benar, sekaligus menghindarkan kita dari sikap acuh tak acuh yang mengikis makna iman.
Api Moderasi di Era Digital
Kini, di era media sosial, ujian bagi moderasi semakin berat. Dulu, perbedaan pendapat dipecahkan lewat diskusi tatap muka, kini banyak yang berujung debat kusir di ruang maya.
Baca Juga: BRI Tunjukkan 8 Langkah Nyata Dukung Bangsa Semakin Berdaulat, Sejahtera dan Maju
Kata-kata bisa menjadi senjata yang melukai lebih dalam dari pedang, dan berita bohong menyebar lebih cepat daripada kebenaran.
Disinilah moderasi berperan sebagai pelita. Ia mengajarkan kita menahan jemari sebelum mengetik kalimat yang memecah belah, serta memilih kata yang menenangkan hati, bukan membakar emosi karena Agama itu datang untuk membawa rahmat, bukan permusuhan.
Pelajaran dari Kemerdekaan
Bulan Agustus selalu menjadi momen refleksi. Saat bendera merah putih berkibar di angkasa, kita diingatkan pada para pahlawan mereka yang datang dari berbagai agama dan daerah, tetapi rela berjuang di medan yang sama.
Sejarah mencatat, dalam pertempuran pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) memimpin keluarnya Resolusi Jihad, memotivasi umat Islam untuk membela tanah air, resolusi ini menjadi pemicu semangat rakyat, terutama di Surabaya, yang kemudian meletus menjadi Pertempuran 10 November 1945.
Di sisi lain, pemimpin Kristen seperti Johannes Leimena, dan tokoh Katolik seperti Ignatius Joseph Kasimo, juga aktif membela kemerdekaan melalui jalur diplomasi dan politik.
Baca Juga: Kelompok 28 KKM Uniba Hibahkan Rocket Stove di Cikedal, untuk Atasi Masalah Sampah
Ada pula peran pemuda-pemuda Tionghoa, penganut Buddha dan Konghucu, yang mendukung perjuangan melalui logistik dan informasi.
Mereka tidak bertanya, “Apa agamamu?” sebelum mengangkat senjata atau menyumbang tenaga. Mereka tahu, yang mereka perjuangkan adalah rumah bersama bernama Indonesia.
Mengisi Kemerdekaan dengan Moderasi
Baca Juga: Malam Ini! Tottenham vs Burnley Berikut Jadwal, Link Streaming, dan Prediksi Pertandingan
Kini kita hidup di zaman merdeka. Senjata sudah disimpan, tetapi tantangan baru muncul: bagaimana menjaga kemerdekaan dari ancaman perpecahan internal.
Salah satu ancaman terbesar adalah intoleransi yang tumbuh diam-diam di tengah masyarakat.
Menghargai perbedaan adalah bentuk nyata mengisi kemerdekaan. Itu bukan hanya soal menghadiri perayaan hari besar agama lain, tapi juga mau mendengar dan memahami sudut pandang yang berbeda.
Baca Juga: Proses Konsolidasi BPR dan BPRS di Banten sudah Terbentuk 12 Group
Moderasi adalah pagar rumah besar kita. Pagar itu bukan untuk memisahkan, tapi untuk melindungi semua penghuni dari ancaman luar.
Bung Karno pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Kata-kata itu menjadi peringatan bahwa ancaman terhadap persatuan tidak selalu datang dari luar, tetapi bisa muncul dari dalam, jika kita gagal menjaga kerukunan.
Baca Juga: Dijanjikan Terbit Oktober, 2.900 Honorer Banten Masih Harap-harap Cemas Menanti SK PPPK
Kemerdekaan Sejati
Kemerdekaan bukan hanya kebebasan dari penjajah fisik, melainkan juga kemerdekaan dari belenggu kebencian dan prasangka.
Jika setiap warga merasa aman, dihormati, dan setara tanpa memandang agamanya, barulah kemerdekaan itu utuh.
Moderasi beragama adalah jembatan yang menghubungkan tepian perbedaan. Tanpanya, sungai prasangka akan semakin lebar, memisahkan kita satu sama lain. Dengannya, kita bisa menyeberang, saling sapa, dan saling bantu.
Baca Juga: Menangkan Hadiah Jutaan Rupiah! Lomba Desain Logo HUT Banten ke-25, Cek Link Pendaftarannya
Menyalakan Api Persatuan
Hari ini, saat kita merayakan Hari Kemerdekaan, mari nyalakan kembali api persatuan itu. Moderasi beragama adalah bahan bakarnya, hati yang lapang adalah sumbunya, dan rasa hormat kepada sesama adalah nyalanya.
Dengan itu, kita tidak hanya menghormati jasa pahlawan, tapi juga memastikan Indonesia tetap bersinar sebagai mercusuar keberagaman yang damai di mata dunia. ***
Penulis: Rikil Amri, S.Pd., M.Pd (Dosen Universitas Pamulang & Pengurus PC NU Kota Cilegon)