BANTENRAYA.COM – 1 juni menjadi hari diperingati lahirnya Pancasila.
Sekilas tidak ada yang spesial dalam momentum lahirnya Pancasila 1 juni 1945 melalui sidang umum Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Padahal sejatinya kehadiran Pancasila tersebut menjadi ujian awal bagi kesatuan bangsa Indonesia dan kaum pemikir kala itu usai memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945 dan pada keesokannya mengesahkan Pancasila.
Dalam berbagai perspektif sejarah, awal perdebatan sebenarnya muncul dalam 7 kata di sila pertama yang akhirnya dihilangkan demi keutuhan bangsa.
Baca Juga: Tiket Masuk Istana Taman Cadas Rp10.000
Lahirnya Pancasila yang kemudian menjadi batang tubuh Undang-undang 1945 sampai sekarang masih menyisakan problem terpedang bangsa Indonesia.
Bahkan, ketegangan sejarah tersebut sering kali menjadi dasar perjuangan kelompok yang menganggap tidak diakomodirnya kepentingan salah satu golongan atau pihak.
Dikutip BantenRaya,Com dari muhammadiyah.or.id pada Rabu 1 Juni 2022, awal perdebatan soal polemik 7 kata yang pada akhirnya dihilangkan sudah terjadi.
Dalam sejarahnya Ki Bagus Hadikusumo menjadi salah satu orang yang menginterupsi 7 kata yakni “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”, atau jika tidak dihilangkan sama sekali.
Soekarno sebagai pimpinan sidang umum BPUPKI tidak bergeming sehingga membuat suasana memanas.
Baca Juga: Trauma, TKW Laporkan Suami Atas Dugaan KDRT
Usulan yang disampaikan sehingga menghadirkan perdebatan pesan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, hal itu tercatat dalam dokumen Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945–22 Agustus 1945 (1995).
Dalam buku otobiografi Mohammad Hatta Memoir (1979), malam usai proklamasi 17 Agustus 1945 atau saat pembahasan penetapan Undang-Undang Dasar dimana ada Piagam Jakarta di dalamnya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun, ada pihak yang ingin ketetapan bersama itu diubah kembali.
Hal itu karena sebagian golongan memprotes 7 kata yang ada dalam Piagam jakarta dan memintanya untuk diubah dan dihilangkan.
Dalam suasana yang genting itu, akhirnya sebagian besar panitia dari golongan islam menerima dengan syarat hanya bersifat sementara saja.
Baca Juga: Kepergok, Maling Motor Asal Kasemen Ditangkap Warga
Dalam versi sejarah lainnya, Soekarno sendiri menjanjikan akan mengakomodir kembali tujuh kata itu dalam sidang MPR pada Februari 1946. Ki Bagus pun seringkali menanyakan akomodasi janji Soekarno kepada Kasman.
Meskipun hingga Ki Bagus wafat pada 4 November 1954, janji tersebut belum terwujud hingga Kasman Singodimedjo menagih secara keras pada Sidang Konstituante 2 Desember 1957, termasuk hingga sebelum Soekarno wafat pada tahun 1970.
Kegagalan mewujudkan janji saat merayu Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata Piagam Jakarta itu bahkan menjadikan perasaan berdosa Kasman Singodimedjo menjelang wafatnya pada 1982.
“Sayalah yang bertanggung jawab dalam masalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” ucap Kasman sambil menangis di depan anggota Muhammadiyah Lukman Harun, demikian dicatat oleh Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masyumi (2014).
Tentu saja sejarah kerap memiliki banyak perspektif dan sudut pandang soal Pancasila. Namun tentu ada pelajaran dalam sejarah yang harus dipetik secara positif, sehingga generasi penerus bisa belajar dari berbagai kesalahan dan kebaikan untuk bersama-sama membangun bangsa Indonesia.
Baca Juga: 169 Rumah di Kabupaten Serang Terdampak Banjir
Apa yang ditulis bukan menjadi satu-satunya versi sejarah atas polemik Piagam Jakarta dan Pancasila. Namun, tentu saja banyak versi sejarah yang bisa dijadikan referensi ilmu pengetahuan. ***