BANTENRAYA.COM – Pengamat kebijakan publik Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Adib Miftahul, merespons aksi unjuk rasa masyarakat Bojonegara terkait truk tambang yang masih mengganggu mereka.
Adib menilai, kisruh pembatasan truk tambang di Banten, terutama di Bojonegara, Kabupaten Serang, bukan disebabkan kurangnya aturan.
Kondisi ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum serta ego sektoral antar instansi yang membuat regulasi hanya berjalan setengah hati.
Menurut Adib, Indonesia, khususnya Banten, sudah memiliki terlalu banyak aturan, termasuk aturan tentang tambang.
Bahkan beberapa di antaranya saling tumpang tindih.
BACA JUGA: Dishub Banten Batasi Truk Tambang Maksimal 10 Ton, Hasil Evaluasi Tunggu Keputusan Gubernur
Saking banyaknya aturan, pemerintah kemudian menyederhanakan aneka undang-undang menjadi Undang-Undang Cipta Kerja.
“Aturan kita itu sudah banyak. Bahkan terlalu banyak. Masalahnya bukan di regulasinya, tapi law enforcement (penegakan hukm-red) kita yang lemah,” kata Adib, Senin (17/11/2025).
Ia menggambarkan penegakan hukum di Indonesia sebagai “anget-anget tai ayam”, untuk menggambarkan penegakan hukum yang terasa ketika baru lahir, namun kemudian hilang seiring berjalannya waktu.
Adib juga menyoroti ego sektoral antar instansi pemerintah yang menurutnya menjadi salah satu penghambat terbesar penegakan aturan.
Aturan pembatasan truk tambang diterbitkan oleh Gubernur Banten melalui Keputusan Gubernur Banten, tetapi menurutnya belum tentu mendapat dukungan penuh dari pemerintah kabupaten maupun aparat kepolisian.
BACA JUGA: Jalan Bojonegara-Pulo Ampel Lumpuh Total, Ribuan Warga Turun ke Jalan Protes Truk Tambang
“Apakah Pemerintah Kabupaten Serang mendukung 100 persen? Saya pikir tidak. Polisi mendukung 100 persen? Saya kira juga tidak. Ego sektoral ini akhirnya membuat aturan tidak berjalan maksimal,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tanpa sinergi nyata antar instansi, aturan pembatasan truk tambang akan terus menemui jalan buntu.
Dishub Kabupaten Serang, Dishub Cilegon, Dishub Provinsi Banten, Polres Serang, hingga Polda Banten harus bergerak bersama, bukan hanya sekadar koordinasi formalitas.
Lebih jauh, Adib menyebut persoalan pembatasan truk tambang juga menyangkut ketidakadilan dalam penegakan hukum.
Selama ini, sopir selalu menjadi pihak yang paling sering disalahkan, padahal mereka hanya objek yang bekerja untuk mencari nafkah.
BACA JUGA: Dishub Banten Batasi Truk Tambang Maksimal 10 Ton, Hasil Evaluasi Tunggu Keputusan Gubernur
“Kita tahu sopir itu salah. Tapi kalau mereka nggak jalan, mereka nggak dapat duit. Apakah hukum berani menindak pengusahanya? Kan nggak. Supir lagi, supir lagi,” katanya.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN) ini pun mendorong agar penindakan diarahkan kepada pemilik usaha tambang dan pemilik armada.
Menurutnya, jika tambang yang melanggar aturan ditutup sementara, maka otomatis aktivitas truk yang melanggar juga akan berhenti.
“Yang perlu dihajar adalah pemilik truknya, pemilik tabangnya. Tambangnya tutup dulu kalau nggak sesuai regulasi. Kalau tambangnya ditutup kan nggak akan ada truk,” tegas Adib.
Adib menegaskan bahwa membuat aturan baru tidak akan menyelesaikan masalah jika tidak disertai penegakan hukum yang konsisten.
BACA JUGA: Muhsinin Resah Truk Tambang Masih Bandel Langgar Jam Operasional
“Bikin aturan seribu sehari pun nggak akan efektif kalau tidak dibarengi penegakan hukum. Nggak akan bisa jalan, menurut saya.”
Adib menyatakan, penyelesaian masalah truk tambang di Banten membutuhkan solusi komprehensif, termasuk keberanian aparat menindak pelaku usaha yang melanggar, serta keseriusan pemerintah dalam menghapus ego sektoral.***



















