Hutomo menerangkan perubahan delik pasca Putusan MK Nomor 25/2016 mewajibkan JPU bukan hanya membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa.
“Tapi juga jaksa harus membuktikan bahwasannya perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara secara pasti (actual). Sehingga dengan demikian JPU harus memiliki hasil audit investigasi dari instansi yang berwenang,” terangnya.
Hutomo menambahkan jika JPU menggunakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (3) UU Tipikor, Jaksa harus memiliki laporan hasil pemeriksaan investigatif dari BPK RI.
“Coba lihat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA 2/2024) dalam ketentuan Kamar Pidana menyatakan hanya BPK yang memiliki kewenangan utk menetapkan kerugian negara,” tambahnya.
Diketahui, dalam eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim, tim kuasa hukum terdakwa Sukron Yuliadi Mufti menyampaikan sejumlah keberatan.
Di mana surat dakwaan tidak memenuhi syarat materiil, karena JPU dinilai tidak mampu merumuskan unsur-unsur delik yang sesuai dengan fakta perbuatan terdakwa.
Kejaksaan tidak melibatkan BPK RI sebagai lembaga yang berwenang menentukan kerugian negara, sehingga dinilai inkonstitusional.
Penuntut umum tidak memahami perubahan delik formil menjadi delik materil pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Laporan audit oleh kantor akuntan publik tidak dapat dijadikan dasar penuntutan dengan menggunakan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor.
“Konsekuensi hukumnya jelas. Jika tidak ada hasil pemeriksaan dari BPK, maka dakwaan jaksa terhadap klien kami (Sukron Yuliadi Mufti) menjadi prematur, dan majelis hakim seharusnya menerima eksepsi ini,” tegasnya. ***