BANTENRAYA.COM – Pencirtaan media social atau digital menjadi salah satu metode yang dilakukan seluruh Paslon di Pilkada Kota Cilegon.
Dengan pencitraan tersebut paslon berharap berkah dari elektabilitas dan popularitas yang meningkat.
Namun, ibarat pisau bermata dua, pencitraan melalui media sosial yang hanya dibungkus atau sebagai lipstick saja akan menjadi boomerang.
Terlebih, jika masyarakat mengetahui secara langsung kenyataan para paslon dalam bersikap, tingkah lagi dan perbuatan tidak sesuai dengan yang dicitrakan di media sosial.
Misalnya di media sosial ramah dan suka menyapa, tapi di kenyataan malah tidak menggubris saat disapa, atau dermawan dalam media sosial tapi cemberut saat dimintai bantuan.
Pengamat Politik dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten (SMHB) Syaeful Bahri menjelaskan, tidak bisa dipungkiri ada keharusan untuk menggunakan jasa pegiat media sosial atau buzzer tersebut. Hal itu karena kebutuhan di tengah kemajuan teknologi komunikasi sekarang.
Baca Juga: Perusahaan Tambak Udang Jadi Target Pendapatan Asli Daerah
“Tidak bisa dipungkiri di era sosial media maka buzzer adalah sebuah kebutuhan karena era teknologi digital. Tidak boleh tidur (tidak main medsos-red) benar-benar harus menyapa dan langsung datang ke mata dan pikiran hati satu-satu one by one secara visual,” tegasnya, Selasa 1 Oktober 2024.
Terlebih, papar Syaeful, sekarang 90 persen pemilih terutama pada kategori milenial dan gen z ada 62,79 persen atau total sebesar 207.464 pemilih sudah menggunakan android. Artinya, paslon mengharuskan melakukan serangan udara saat masa kampanye seperti sekarang.
“Calon pemilih itu hampir 90 persen android, strategi maka harus secara langsung didepan mata dan masuk ke pikirin dan semoga masuk ke hati. Ini percepatan (kampanye-red) ibarat terus-terusan digempur maka akan ada perubahan. Jika rendah elektabilitas maka naik dan jika sudah bagus akan lebih tinggi lagi,” imbuhnya.
Syaeful menegaskan, sebenarnya strategi perang udara sendiri akan menguntungkan petahana. Hal itu karena lebih bisa menjual kesuksesan. Apalagi jika ada influencer atau selebritis yang ikut mengereknya.
“Gen Z itu kadang lebih mendengarkan idolanya daripada orang tua. Itu menjadi fakta dan fenomena sekarang,” tegasnya.
Baca Juga: Dukungan Buruh Bikin Fajar Hadi Prabowo Makin Bersemangat, Kesejahteraan Pekerja Jadi Perhatiannya
Namun, disisi lain, papar Syaeful, ibarat pisau bermata dua, pencitraan melalui media sosial juga bisa menjadi boomerang. Apalagi jika masyarakat menemukan ketimpangan antara penampilan dan perilaku visual media dengan kenyataan yang sangat berbeda.
“Bisa jadi faktanya berbeda dengan persepsi visual. Jika beda dengan fakta mereka akan kecewa dan itu negatifnya, pemilih bisa berubah pilihan. Misalnya, si A itu dibangun pencitraan ramah, baik dermawan. Tapi kenyataannya malah sebaliknya, disapa tidak membalas, dimintai bantuan malah cemberut. Itu jika ada temuan fakta maka akan pindah,” paparnya.
Artinya, ucap Syaeful, para paslon harus menjaga citra tersebut selama masa kampanye sampai pencoblosan nanti. Namun, tentu akan lebih baik jika visual yang disuguhkan juga benar dengan kenyataan.
“Sekarang itu faktual yang mengikuti visual dan itu dunia internet dan visualkan sopan cerdas, peduli dan ini bumerangnya. Akan lebih baik memang jika kenyataan adalah apa adanya,” pungkasnya. (***)