Oleh: Riswanda
Publikasi Riswanda (2011), ‘A Critical Analysis of the Anti-Terrorism Policy in Indonesia’ sedikit banyak memotret guncangan sosial yang baru saja melanda negeri ini.
Seiring munculnya aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Realitas yang menimbulkan ironi, di sela-sela upaya aktif pemerintah menaksir ketepatan intervensi sosial neo-pandemi (Riswanda 2021, Banten Raya, 10 November).
Keganasan aksi KKB menelurkan sebaris daftar kejahatan (Kompas 2022, 7-8 Maret). Ragam kalangan mengecam, mengingat kekerasan masif aksi mereka telah menuai korban masyarakat.
Pembakaran sekolah dan penembakan guru, dua dari sekian eksposur media atas kejahatan KKB. Artikulasi teroris pembangkangan nasionalis (nationalist dissident terrorism) oleh Pemerintah Indonesia terhadap kelompok ini, sepertinya tidak berlebihan. Lalu, apa kaitan intimidasi KKB dengan arsitektur sosial dan silaturahmi pemikiran?
Terlepas dari latar belakang aksi teror, baik itu separatisme maupun pertentangan agama, ideologi etnis, kepincangan ekonomi dan perbedaan pandangan politik, membombardir pikiran adalah ujung tujuan aksi. Asal kata latin ‘terrere’, dengan arti membuat gemetar atau menggetarkan, berpaut penafsiran etimologis menakut-nakuti (to terrify).
Artinya, serangan pada pikiran dijalankan individu atau kelompok tertentu melalui penciptaan keseraman, kepanikan, horor dan kekejaman oleh seseorang atau golongan tertentu.
Meruncingnya ketidakpuasan dan mungkin lemahnya saluran dialog dua-arah pencarian akar masalah, bisa dikatakan pencetus aksi mendesakkan tujuan sosial politik. Kenapa bisa dikatakan seperti itu? Pencurian perhatian publik melalui kekejaman aksi KKB merupakan penanda sederhana.
Bahwa boleh jadi mereka mengincar perhatian lebih, dimana barangkali jauh sebelumnya ketidaknyamanan dan kekecewaan lalai ditanggapi. Meski aksi KKBI tetap tidak dapat dibenarkan dari sisi apapun, tetap diperlukan kebijaksanaan kritis-kontruktif.
Sedikitnya, antisipasi-solusi agar eksposur pola pikir seperti ini tidak menular. Disinilah peran arsitektur sosial dan katakanlah silaturahmi pemikiran. Bagaimana caranya?
Kehadiran literasi publik melalui media sosial seharusnya mampu hadir sebagai sarana pembelajaran untuk menyambungkan potensi di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hankam sebagai wujud aktualisasi diri seorang warga negara.
Khittah manusia yang terus berevolusi, semestinya menjadi bagian dari setiap perubahan. Tidak ada realitas yang absolut di ranah sosial-politik kebijakan. Jika tidak ingin tertinggal dan ditinggal, maka akselerasi kebijakan pemerintah wajib mampu menjadi penyeimbang hadirnya ragam kanal informasi.
Keliru tafsir atas suatu kejadian dapat berakibat fatal, seperti potensi munculnya KKB, jika arsiran psikologi politik dan sosial budaya tidak terwadahi dalam dialog horizontal.
Penjabaran alamiah hasil pemikiran berpijak pada apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan. Begitupun juga ceruk narasi sebuah solusi kebijakan atas suatu peristiwa sosial. Seyogyanya dibangun atas dasar kualitas tuturan lived experience (pengalaman hidup) mereka yang terkena dampak dari respon regulasi pemerintah.
The Age of Networked Intelligence (Era Kecerdasan Jaringan), menuntut kolaborasi dan ko-kreasi, menandai datangnya keharusan cetak biru kebijakan merintis pertimbangan konstruksi sosial penanganan KKB. Takah-takahnya, hampir semua hal berjejaring saat ini melalui luasnya pilihan sumber informasi, tapi belum semua membangun kecerdasan jaringan.
Jika Kita analogikan produk regulasi kebijakan sebagai konstruksi bangunan sosial, maka ketepatan desain utamanya adalah pada barometer realitas munculnya pemikiran KKB. Polemik sebutan atau label tidak menyelesaikan masalah. Persaudaraan pemikiran budaya dan sikap politik kadang terkunci oleh penonjolan sikap kekuasaan.
Padahal sekali lagi tidak ada realitas absolut saat mendesain prototipe kebijakan. Hanya perubahan itu sendiri yang tidak berubah. Inpres Nomor 9 tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang selanjutnya dibuntuti revisi UU Otsus Papua, sudah tepat menjadi modal dasar arsitektur sosial.
Kenapa demikian? Pendekatan kesejahteraan berpeluang membuka jalan damai panasnya gesekan sosial. Tinggal memastikan peran silaturahmi pemikiran dibuka melaui kecerdasasan jaringan. Tentu tidak harus selalu diartikan kemodernan teknologi digital. Melainkan kecerdasan jaringan lintas tokoh sosial. Dan dijembatani oleh patron kearifan kultur.
Kenapa? Pertimbangannya, nilai positif ataupun negatif potensi sebuah pemikiran kelihatannya kurang tepat jika hanya ditinjau dari capaian kasat mata. Keberlanjutan langkah peredam munculnya lanjutan aksi KKB yang sama, adalah justru pada upaya ekstra pencegahan agar jangan sampai muncul kelompok serupa.
Berpusar pada pentingnya counter narrative dari pemikiran kriminal separatis misalnya pada bahasan ini. Pemikiran akan terus hidup. Penting untuk kemudian mengarahkan pemikiran tersebut pada upaya menambah pemahaman dan mengurangi ketidakpastian. Mana tahu akar masalahnya justru sealami minusnya pemahaman atas situasi serba tidak pasti.
Penulis adalah associate professor dan analis kebijakan Untirta










