Oleh: Riswanda
Matlamat penataan ulang regulasi kebijakan yang dianggap belum selaras, bisa saja berujung banjir regulasi (Riswanda 2023, Storkersen 2020).
Persoalan publik dan masalah kebijakan tidak dapat diperlakukan seperti layaknya Klasemen Liga Italia, dimana koleksi poin melalui capaian target kompetitif menentukan posisi kelompok pemain tertentu.
Kecermatan menggubah kebijakan, seyogianya bukan diukur dari gagahnya sontak memunculkan aturan baru, mengikat, lalu unjuk adikuasa. Belajar dari kerendahatian Presiden Joko Widodo, karakter sederhana dari sebuah regulasi kebijakan, lembaga pembuat regulasi dan produk regulasi yang dihasilkan, seharusnya ikut serta menginspirasi masyarakat Nusantara, juga warga internasional.
Meminjam frasa Mezzapelle (2021), jangan sampai negeri tercinta ini nantinya mendapat julukan a nation of absolutes [due to] overregulation problem. Kenapa seperti itu?
Belum lama publik dihadapkan munculnya ragam regulasi baru berwajah pembaharuan meski bernuansa nostalgis. Apa maksudnya? Kemunculan langkah-langkah inovatif memang mendorong aras perbaikan sosial-ekonomi.
Peralihan manual ke digital mewarnai aneka aturan dan tumpukan kewajiban administratif baru. Masih mengedepan meski mungkin kalah viral dengan aneka menu drama sajian media sosial, adalah PermenpanRB Nomor 1 Tahun 2023 dan Kebijakan PAK Dosen.
Sebagian ilmuwan perguruan tinggi kini terserempak giat membuka lembar catatan prestasi, katakanlah begitu, atas Tridarma mereka. Budaya kotak centang (a tick-box culture) mengiringi segenap perjuangan mengejar batas tenggat waktu pengumpulan catatan poin prestasi tadi.
Semoga saja tidak lagi-lagi mengulang ‘Takrif Guru Besar di Indonesia’ (Riswanda 2022). Dimana rumit dan panjangnya lampiran centang kelengkapan administratif ditambah prosedur berliku-liku membuat profil seorang ilmuwan jadinya sulit untuk dikaitkan dengan calon penerima hadiah nobel atas gemilangnya karya pemikiran intelektual.
Melainkan lebih dekat dengan pakar unggah-pindai dokumen. Padahal, sebagaimana disebutkan di awal, marwah solusi kebijakan tidak bisa diandaikan klasemen liga sepak bola. Persaingan poin dapat saja memunculkan persaingan kurang sehat nantinya. Gosip kacang mewarnai simpang siur opera kompetisi poin dan tebalnya syarat persuratan, yang seharusnya ikut memperhatikan substansi prestasi keilmuwanan tadi.
Karena mungkin tidak fokus pada karya dan novelti bermarwah intelektual, tapi lebih barangkali kepada siapa cepat siapa dapat. Dikhawatirkan isu pembangunan manusia cendikia yang saat ini bersifat sistemik.
Artinya, satu aspek dapat saja saling terkait dengan ragam aspek lain, meski tidak harus selalu tampak secara eksplisit. Dosen adalah salah satu aktor kunci pembangunan manusia Indonesia. Regulasi pembangunan insan intelektual semestinya sanggup menyertakan dan menyeimbangkan pendekatan multi-aspek semisal gabungan pendekatan politik-ekonomi.
Kebaruan resep kebijakan menyangkut dunia akademik di perguruan tinggi sepatutnya menonjol pada usulan model konseptual terkait lokus, fokus dan tempus tentang sebuah karya dan bukan ketoprak penilaian adab tanpa dasar riset dan data selayaknya dunia intelektual, apa lagi berbasis rumor.
Rekonstruksi pemikiran tata kelola pengelolaan wilayah perguruan tinggi sebetulnya membuka peluang penerapan inovasi kebijakan baru di aspek pembangunan manusia.
Penempatan konsepsi realitas mengait diskursus pembangunan dunia kampus dapat menjadi barometer inisiasi peningkatan kapasitas pemerintah(an) di konteks penyusunan kebijakan nasional.
Semisal, bagaimana pemegang otoritas kebijakan dengan rendah hati menyusun dan menerapkan instrumen evaluasi berkala. Menyoal seberapa jauh upaya-upaya mendorong kebebasan akademik melalui karya dan tembus skala regional asia dan dunia.
Contoh kembali, apakah hibah riset cukup memadai dan tidak berbudaya centang kotak, dapat ditelaah untuk kemudian dievaluasi menjadi kunci tersendiri. Integrasi data berbasis geo-spasial, atau lebih dikenal dengan ‘satu data’ masih memerlukan kesepadanan antara cetak biru dan dukungan regulasi kelembagaan. Bukan lagi memunculkan platform digital baru dengan nama luar biasa menarik dan eksentrik tapi miskin fungsi, atau berfungsi serupa dengan yang telah muncul sebelumnya.
Pemberdayaan seluruh pemangku kepentingan dalam gubahan sebuah kebijakan baru sepertinya genting melibatkan tafsir data mencari akar masalah.
Sehingga tidak mengulang program mirip dengan kemasan anyar. Monev rutin tentu sudah menjadi perjalanan sistem pengawasan birokratis. Reformasi substansi monev itu sendiri yang justru harus hadir lebih depan, dibandingkan tambahan beban centang kotak.
Bentuk komunikasi publik terkait luncuran kebijakan baru pemerintah tentu tidak monoton pada slogan bernuansa cita-cita bersama dan abstraksi lainnya. Penentuan konten dan target sasaran pesan pemerintah penting mendapat sorotan lintas-genre. Sedikitnya, menghindari jebakan overregulation atau banjir regulasi kebijakan.
Penulis adalah Associate Professor — Akselerator Kebijakan FISIP Untirta