BANTENRAYA.COM — Ketua Umum Kebersamaan Pengusaha Travel Haji dan Umrah atai BERSATHU Wawan Suhada, menyampaikan bahwa fenomena Umrah mandiri yang saat ini mulai banyak dibicarakan masyarakat memerlukan edukasi mendalam agar pemahaman masyarakat tidak keliru.
Menurut Wawan, meskipun undang-undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah telah resmi disahkan, masih banyak yang salah memahami makna “umrah mandiri”.
“Pada UU 8 Tahun 2019 sudah termaktub kata-kata ‘umrah perseorangan’ sehingga kata ‘mandiri’ sebenarnya bukan hal asing,” ujar Ketua Umum Bersathu, Senin, 27 Oktober 2025.
Ia menegaskan bahwa umrah mandiri yang dimaksud menurut regulasi adalah pelaksanaan oleh orang bersama keluarga inti, misalnya bapak-ibu-anak secara mandiri.
Namun, bukan berarti lepas dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPU) atau biro perjalanan yang berlisensi.
BACA JUGA: Kebijakan Umrah Mandiri Dinilai Baik, tapi Perlu Pengawasan Ketat dan Juknis Tegas
Ia memperjelas bahwa apabila seseorang mengajak banyak orang, menghimpun jamaah, menerima pembayaran dari orang lain selain dari kantong pribadinya, maka itu bukan umrah mandiri yang dimaksud oleh regulasi, melainkan menyerupai fungsi PPU ilegal.
Menurut UU 8 Tahun 2019 Pasal 122 (sebelum perubahan) setiap orang yang tanpa hak bertindak sebagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 tahun dan denda hingga Rp6 miliar (sebelum revisi).
Lebih lanjut, Wawan menyampaikan bahwa jika seseorang menerima pembayaran jemaah yang bukan berasal dari dirinya sendiri, maka ancamannya bisa lebih berat (hingga 8 tahun penjara dan denda hingga Rp8 miliar) sebagaimana ketentuan pidana yang berlaku.
Ia mengingatkan masyarakat agar jangan terkecoh dengan istilah “umrah mandiri” yang kemudian dipahami sebagai bebas semua regulasi.
Bersathu juga menunggu peraturan teknis dari pemerintah (melalui Kementerian Haji dan Umrah) berupa Peraturan Menteri atau ketentuan pelaksana agar mekanisme umrah mandiri tidak menimbulkan polemik dan agar ekosistem penyelenggara umrah berlisensi tetap terlindungi.
BACA JUGA: Umrah Mandiri Resmi Diperbolehkan, Pelaku Travel: Bukan Ancaman, tapi…
Diketahui. UU 14 Tahun 2025 secara resmi diberlakukan sejak 4 September 2025 sebagai perubahan ketiga atas UU 8 Tahun 2019. Di dalam Pasal 86 ayat (1) UU 14 Tahun 2025 disebutkan, “Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan: a. melalui PPIU; b. secara mandiri; atau c. melalui Menteri.”
Kemudian, dalam Pasal 87A diatur persyaratan untuk umrah mandiri yaitu antara lain: beragama Islam, paspor berlaku minimal 6 bulan, tiket pulang-pergi sudah jelas, surat keterangan sehat, visa serta bukti pembelian paket layanan melalui sistem informasi Kementerian.
Ketua Bersathu juga memperingatkan risiko terutama bagi pihak yang “memanfaatkan” istilah umrah mandiri dengan cara merekrut, menghimpun jamaah, menerima uang dari pihak lain tanpa izin, hal yang jelas melanggar ketentuan pidana.
Jika tidak diawasi dengan baik, bisa muncul praktik bodong, penyalahgunaan, dan menimbulkan kerugian jamaah.
Regulasi yang melegalkan umrah mandiri melalui UU 14/2025 bisa dianggap sebagai langkah maju dalam menyesuaikan dengan dinamika global (termasuk regulasi di Arab Saudi).
BACA JUGA: Warganya Jadi Juara di STQH Nasional, Pemkot Cilegon Guyur Bonus Puluhan Juta hingga Umrah
Namun, sebagaimana diingatkan Wawan, keberhasilan implementasi banyak bergantung pada sejauh mana edukasi kepada masyarakat, kesiapan regulasi pelaksana, dan penguatan ekosistem biro perjalanan yang berizin.
Tanpa itu, opsi “mandiri” bisa disalahartikan atau disalahgunakan, menyebabkan risiko bagi jamaah dan industri umrah secara keseluruhan. ***



















