BANTENRAYA.COM – Pengamat Kebijakan Publik sekaligus Dosen Program Megister Kebijakan Publik STIA Banten, Arif Nugroho turut menyoroti rencana Pemkab Lebak rehabilitasi Gedung Negara atau Rumah Dinas Bupati Lebak.
Arif menilai bahwa pertimbangan rehabilitasi Rumah Dinas Bupati Lebak harus dilakukan secara hati-hati.
Terlebih saat ini Kabupaten Lebak masih bergulat dengan berbagai persoalan dasar, mulai dari Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) hingga kondisi infrastruktur jalan, maupun fasilitas umum lainnya.
Baca Juga: Komnas Anak Desak Evaluasi Total SMAN 4 Kota Serang Usai Dugaan Kasus Pelecehan Terulang
Di tengah kondisi seperti itu, Arif menyebut alokasi dana Rp2,1 miliar untuk rumah dinas, terlebih di awal masa jabatan bupati, berpotensi menimbulkan kesan negatif.
POtensi kesan yang muncul di publik bahwa orientasi kebijakan belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan dasar masyarakat.
“Dalam banyak kasus, langkah-langkah simbolik dari kepala daerah, seperti menunda renovasi rumah dinas dan mengalihkan anggaran ke program sosial, justru bisa membangun kepercayaan publik dengan lebih kuat, terlebih di awal masa jabatan,” katanya, Selasa 22 Juli 2025.
Baca Juga: Terbongkar! Korban Oknum Guru SMAN 4 Kota Serang Diduga Dapat Kompensasi Belasan Juta
Arif menerangkan, perbaikan itu sendiri tentu langkah yang legal secara administratif.
Namun dari kacamata good governance, kebijakan publik bukan hanya harus legal dan prosedural, tapi juga harus memiliki legitimasi secara sosial.
Artinya diterima dan dipahami oleh masyarakat sebagai kebijakan yang adil dan berpihak.
Baca Juga: Realisasi APBD Kota Serang Baru 52 Persen di Semester 1: Dinsos Tertinggal, PUPR Terdepan
“Kita juga perlu bertanya, apakah harus sekarang? dan apakah harus sebesar itu? Rakyat hari ini tidak hanya menilai dari hasil, tetapi juga dari sikap dan arah keberpihakan seorang pemimpin,” terang dia.
Arif mengusulkan agar keputusan seperti ini bisa lebih bijak jika disampaikan secara terbuka terkait kondisi rumah dinas sebenarnya.
Komponen mana saja yang rusak, berapa kebutuhan riilnya, dan apakah memungkinkan untuk dilakukan secara bertahap atau disederhanakan.
Transparansi seperti ini dinilai penting untuk mencegah prasangka publik dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil bukan semata-mata soal fasilitas, tapi juga soal keberpihakan.
“Prinsipnya bukan berarti rumah dinas tidak boleh diperbaiki, tetapi dalam tata kelola pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, kita harus cermat memilih momentum dan proporsi kebijakan,” tandasnya.***