BANTENRAYA.COM — Kematian seekor badak jawa bernama Musofa saat proses translokasi memicu protes dan desakan evaluasi dari masyarakat desa penyangga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten.
Warga mendesak penghentian program Badak tersebut dan meminta penjelasan menyeluruh mengenai penyebab kematian satwa langka tersebut dari pengelola taman nasional.
Andi Suardi, warga Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, mengatakan bahwa masyarakat merasa proses translokasi yang dilakukan TNUK perlu dipertanyakan, terutama karena metode penangkapan badak masih menggunakan jebakan lubang.
Ia menyebut cara tersebut membahayakan keselamatan satwa. Hal itu kemudian terbukti dengan matinya seekor badak jawa bernama Musofa usai masuk perangkap dalam lubang jebakan yang dibuat.
“Kami meminta TNUK menunjukkan rekam medis dan video saat Musofa masuk ke jebakan. Masyarakat berhak tahu bagaimana kondisi sebenarnya sebelum badak itu dinyatakan mati,” ujar Andi, Minggu (30/11/2025).
BACA JUGA : Satu Ekor Badak Jawa Mati Saat Dipindahkan ke Kawasan Penangkaran
Menurutnya, penggunaan lubang penangkap masih menimbulkan kekhawatiran karena dianggap berisiko menyebabkan cedera, stres berat, bahkan kematian pada badak. Warga menilai metode tersebut tidak lagi relevan dengan standar konservasi modern.
“Menjebloskan badak seberat kurang lebih satu setengah ton ke dalam lubang dan berharap ia tetap hidup adalah bentuk kelalaian yang begitu parah sampai-sampai sulit dipercaya masih terjadi di era ketika dunia sudah menggunakan standar modern,” ujarnya.
“Penangkapan dengan ranjau atau lubang tidak hanya salah, tetapi memalukan. Semakin lama metode ini dibiarkan, semakin jelas bahwa yang mati bukan hanya badak, tetapi juga akal sehat dan integritas konservasi,” tambahnya.
Andi mengungkapkan, pada Jumat lalu warga di desa penyangga sempat menggelar pertemuan dengan pihak TNUK. Dalam pertemuan tersebut warga mempertanyakan bentuk pertanggungjawaban TNUK atas matinya Mustofa. Mereka menilai kematian Musofa menjadi tanda bahwa proses translokasi tidak berjalan optimal. Karena itu, warga mendesak agar program tersebut dihentikan sampai ada evaluasi menyeluruh.
“Kami bukan menolak konservasi, tetapi keselamatan satwa harus menjadi prioritas. Kalau satu badak saja tidak bisa dijamin keselamatannya, bagaimana dengan translokasi berikutnya?” kata dia.
Andi juga menyinggung pentingnya melibatkan kearifan lokal dalam setiap program konservasi. Menurut mereka, pengetahuan masyarakat adat dan warga sekitar selama ini berperan dalam menjaga flora dan fauna Ujung Kulon. Karena itu, warga merasa perlu dilibatkan lebih jauh dalam pengambilan keputusan yang menyangkut habitat badak Jawa.
BACA JUGA : Badak Jawa Ditranslokasi dengan Dukungan Transportasi KAPA K-61 Marinir TNI
Andi menilai kematian Musofa merupakan momentum penting untuk meningkatkan mutu pengelolaan konservasi badak Jawa. Dia mendorong pemerintah membuka hasil investigasi—mulai dari kondisi medis Musofa, mekanisme pemindahan, hingga faktor penyebab kematiannya.
Menurut Andi, masyarakat tidak ingin insiden ini sekadar menjadi laporan administratif tanpa perubahan nyata. Setiap badak sangat berharga. Jumlahnya saat ini tinggal sedikit. Mereka ingin kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Andi juga menyoroti besarnya anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk proyek translokasi. Mereka mempertanyakan efektivitas penggunaan dana tersebut jika masih terjadi kejadian fatal di lapangan. Bagi masyarakat, keberhasilan konservasi tidak hanya diukur dari terlaksananya program, tetapi dari keselamatan satwa yang menjadi inti kegiatan.
“Kematian Musofa, apa pun penyebab pastinya, seharusnya menjadi alarm keras bahwa konservasi bukan sekadar proyek, bukan sekedar laporan kegiatan, dan bukan sekedar foto-foto seremoni. Konservasi adalah nyawa-nyawa satwa yang bahkan satu ekornya sangat berarti bagi keberlangsungan spesies,” ujarnya. (***)
















