BANTENRAYA.COM – Orang kaya tapi bersyukur atau orang miskin tapi bersabar merupakan dua pilihan yang biasanya dihadapkan pada umat muslim di Indonesia.
Sebagian umat Islam memandang Nabi Muhammad SAW merupakan orang yang miskin harta.
Hal ini mengacu pada doanya yang meminta untuk hidup dan wafat dalam keadaan miskin, serta dikumpulkan bersama orang-orang miskin.
Pandangan ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman literal yang dipahami oleh masyarakat.
Baca Juga: Vonis Bebas Dijatuhkan untuk Gus Samsudin Atas Kasus Dugaan Aliran Sesat, Tuai Pro Kontra Warganet
Sebagian para ulama menjelaskan bahwa ‘miskin’ dalam doa tersebut berarti tawadhu (rendah hati), bukan kekurangan harta.
Dan sebagian umat Islam percaya bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah orang yang miskin.
Hal ini dapat terjadi karena sabdanya yang mendorong umatnya bekerja dan menghindari kefakiran, yang dianggap bisa merusak iman.
Beberapa hadits juga sekilas tampak menganjurkan menjadi fakir, seperti hadits yang menyebut orang miskin masuk surga lebih dulu daripada orang kaya.
Baca Juga: Timnas Indonesia U19 Akan Hadapi Argentina di Seoul Earth On Us Cup 2024
An-Nawawi menjelaskan bahwa orang miskin lebih mudah dihisab.
Hal ini dapat terjadi karena orang miskin tidak memiliki fasilitas untuk melakukan kemaksiatan seperti yang dimiliki orang kaya.
Namun, apakah benar faktanya demikian?
Hal ini juga diunggah oleh akun Instagram @nuonline_id.
Al-Munawi menjelaskan bahwa baik kekayaan maupun kemiskinan memiliki sisi baik dan buruk.
Hal ini terjadi tergantung pada bagaimana tiap individu menghadapinya.
Faktanya Rasulullah SAW pernah berdoa secara proporsional untuk dihindarkan dari ‘fitnah kefakiran’ dan ‘fitnah kekayaan’.
Menurut al-Munawi, fitnah dalam doa tersebut berarti ujian.
Apakah orang kaya dapat menghindari ujian kesombongan, lexing, dan menggunakan harta untuk kemaksiatan?
Lalu, apakah orang miskin dapat menghindari ujian iri, dengki, serta merendahkan diri di hadapan orang kaya, sehingga mengorbankan kehormatan dan keimanan?
Kemudian Ibnu Hajar al-Haitami berpendapat, orang kaya yang bersyukur lebih baik daripada orang fakir yang bersabar, karena mereka dapat melakukan ibadah sosial dengan harta mereka.
Hal ini dapat terjadi karena mereka tidak hanya ibadah individual akan tetapi dapat ibadah dengan hartanya.
Baca Juga: Cagar Budaya Batu Ranjang di Cipeucang Pandeglang, Begini Sejarahnya
Baik dalam keadaan kaya maupun miskin, setiap individu pasti akan menghadapi situasi tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.
Hal ini semoga dapat dipahami bagi umat muslim yang ada di Indonesia.
Karena, pandangan terhadap orang kaya tapi bersyukur dan orang miskin tapi bersabar banyak diperbincangkan.***