Oleh : Riswanda
‘Making Sense of The Politics of Recognition’ adalah penggalan judul artikel Riswanda dkk (2020). Mengulas cetak tebal pada haluan keberagaman kultur, keyakinan, sudut pandang dan ruang pengakuan politik atas ide perdamaian.
Nilai kebinekaan sepertinya patut diperjuangkan persona yang menjadi manggala Ibu Kota Negara — simak Riswanda (2022) ‘UU IKN disahkan! Apa PR Pemerintah dan DPR Selanjutnya?’.
Kenapa perhatian terhadap kemajemukan menjadi penting sejurus pentingnya soal pendanaan? Belum lama, ramai pemberitaan media (Tempo 2022, 13 Maret) perihal ritus kultur berbentuk pemayangan tanah dan air ke wadah yang kemudian disebut Kendi Nusantara.
Bermacam-macam tafsir makna muncul seiring gelaran ritus ini di titik nol proyek IKN. Lebih lagi Presiden diminta terlibat dalam ritual, seolah menyimbolkan peresmian “gunting pita”, tekad memulai pembangunan katakanlah begitu.
Tuaian reaksi opini muncul dari berbagai kalangan pemerhati. Mulai dari conundruum tatapan ganjil seputar kembalinya unsur magis dan mistis pemerintahan, sampai kepada kesahajaan bagian budaya Nusantara.
Ulasan spiritual bahkan ikut meramaikan makna lelaku ini (Warta-Berita 2022, 15 Maret). Lalu arsiran bermakna apa yang dapat Kita jadikan pembelajaran dari sisi kebijakan politik? Pertama, terlepas pertikaian opini yang muncul saat ikut memberi warna, diperlukan dasar rasional kenapa pemerintah mesti melakukan ritus berunsur mistikal.
Kita mungkin lupa bahwa Bumi ini sudah semakin tua. Tidak ada salahnya jika kemudian pengingat apresiasi terhadap aspek perhatian manusia dan lingkungan hidup, diekspresikan dalam sesuatu yang mungkin bisa menarik perhatian khalayak seperti kacamata mistis. Apa maksudnya? Salah satu pilar utama dari tujuh prioritas pembangunan nasional, tertuang dalam Rancangan Kerja Pemerintah tahun 2022 adalah ‘membangun lingkungan hidup’. Kebijakan pembangunan yang semestinya beririsan dengan pilar dampingan ‘pembangunan kebudayaan’.
Insan budaya berwawasan lingkungan sebetulnya pas dengan konsepsi perkembangan multiple-helix — sederhananya bicara gabungan kerjasama berbagai-bagai pemangku kepentingan dengan tetap mengutamakan cakap perhatian terhadap lingkungan. Tentu saja disini peristilahan lingkungan tidak hanya berlaku untuk lingkungan alam, melainkan juga lingkungan sosial. Tersebut terakhir pastinya unik dan dinamis.
Bagi konteks Indonesia, keanekaragaman komunitas etnik, budaya, misalnya, sulit bersanding dengan kebijakan bermarwah keyakinan klasik berbungkus pakem lama yang kaku.
Harapan publik atas keberadaan pemerintahnya mungkin berawal dari terbukanya ruang ko-eksistensi bagi kemajemukan pola pikir. Kerukunan dan perdamaian, barangkali terdengar normatif dan visioner. Padahal, dua tadi bisa jadi modal besar capaian sukses langkah pembangunan, ketika diterjemahkan ke dalam usulan program aksi.
Kedua, literasi lawas Burchfield (1994) dalam publikasi berjudul ‘Eric Voegelin’s Mystical Epistemology and Its Influence on Ethics and Politics’, membahas ilmu politik dari sisi berbeda. Konsepsi etika politik bisa saja diulas menggunakan pengetahuan yang mungkin berada di luar lingkar batas nalar rasional secara umum.
Meskipun tidak begitu saja dapat difrasakan sebagai nalar mistis. Ihwal arsiran pengetahuan politik dan aspek mistikal tampaknya memang berada di ambang persepsi kebanyakan. An epistemology of mysticism: the love of self or the love of God […] Symbolizations and the Postulate of Balance’ menukil Frasa Burchfield. Jika saja keberimbangan pembangunan fisik dan pembangunan manusia atau non-fisik dapat disampaikan melalui simbolisasi budaya, maka pijakan diskusi program-program politik (pembangunan) boleh saja dikemas dalam bentuk alternatif.
Kendatipun, harus diakui eksistensi nilai mistis cenderung dipandang miring tatkala berhubunan dengan realitas politik. Contoh, manuskrip Sahlan dan Kurniadi (2013) mentesiskan judul ‘Dukun dan Politik (Peran Dukun dalam Pemilukada di Banyuwangi tahun 2010’.
Memang, keterpaduan intervensi struktural dan intervensi non-struktural diperlukan pemerintah Indonesia sekarang. Lebih dari sekadar pengulangan strategi lama dengan nama dan kemasan baru. Terbabit upaya menubuhkan pendekatan humanis-inovatif dari pakem ajeg kerumitan birokrasi.
Kanal komunikasi publik semisal dapat mengembalikan usaha mediasi konflik antar komunitas masyarakat, yang seringkali dianggap nomor sekian dalam kajian kewilayahan.
Langkah tertinggal mungkin lebih ke arah bagaimana dan seberapa jauh konsep-konsep apik yang ada, taruhlah termasuk Mystical Epistemology, dapat memberi dampak perubahan atau perbaikan setidaknya. Sehingga kehadiran lakon politik tidak sekadar menghadirkan pertunjukan beda pendapat, tapi melahirkan rumusan kebijakan alternatif pemecah masalah. Ulasan parsial, pemahaman over-simplified dan kadaluwarsa tidak membantu mengentaskan peliknya masalah publik.
Penulis adalah associate professor analis kebijakan publik Untirta