BANTENRAYA.COM – Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam organisasi Gerakan Bersama Rakyat Anti Kemaksiatan (GEBRAK) Banten, mendesak agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dapat segera memberikan usulan kepada pemerintah pusat untuk menutup dan menghentikan segala operasional pabrik minuman keras yang berada di wilayah Cikande, Kabupaten Serang.
Penolakan atas keberadaan pabrik minuman keras tersebut kembali disuarakan para ulama dan masyarakat yang menilai keberadaan industri tersebut bertentangan dengan jati diri daerah.
Ketua Gebrak Banten KH Hafidin menyampaikan bahwa, perjuangan penolakan ini telah berlangsung sejak 2023 lalu dan terus dikawal melalui jalur aspirasi ke Pemerintah Provinsi Banten.
BACA JUGA: Satu Siswa Cilegon Mundur dari Sekolah Rakyat, Dinsos Ungkap Alasannya
Ia mengapresiasi langkah Gubernur Banten Andra Soni yang memerintahkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut hingga ke pemerintah pusat.
“Alhamdulillah sudah disusun surat untuk dikirim ke pusat. Semoga pusat segera merespon dan paling tidak dibekukan sementara operasional pabrik tersebut sampai dilakukan penutupan,” ujar Hafidim saat ditemui usai audiensi dengan Disperindag Provinsi Banten, Kamis (27/11/2025).
Menurutnya, persoalan pabrik miras bukan sebatas soal izin dan standar operasional. Ia menegaskan bahwa, Banten memiliki karakteristik dan nilai keagamaan yang harus dihormati, sebagaimana tercermin dari tagline daerah yang berlandaskan iman dan takwa serta sejarah Banten sebagai pusat peradaban Islam di masa lalu.
“Masa Iman Taqwa ada pabrik miras. Emang di provinsi lain tidak bisa tah dibuat pabriknya? Harus di Banten?,” tegasnya.
Hafidin menilai, keberadaan pabrik miras dan industri hiburan malam menjadi sumber utama munculnya praktik-praktik kemaksiatan. Oleh karena itu, penutupan produksi minuman keras dinilai akan menjadi langkah awal untuk menata kembali pengawasan sektor hiburan malam di Banten.
“Kami para ulama tidak penting perizinan itu lengkap atau tidak. Yang paling penting itu adalah menghormati khazanah karakteristik Banten. Banten ini kan terkenal dengan daerah sejuta santri, seribu kiai. Masa ada pabrik miras,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga meminta agar pemerintah pusat dapat mempertimbangkan aspek kearifan lokal serta empat pilar kebangsaan dalam memberikan izin usaha di Banten.
Menurut Hafidin, jika kebijakan industri bertentangan dengan nilai masyarakat setempat, maka itu akan merugikan semua pihak.
“Saran saya, tolong pertimbangkan fondasi berbangsa di negara kesatuan Indonesia. Kalau kira-kira melanggar aturan dan keutuhan NKRI, ya jangan dipaksakan,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten, Babar Suharso, menyampaikan bahwa, Pemprov berupaya membangun kesepahaman dengan para ulama dan tokoh masyarakat terkait keberadaan industri minuman keras tersebut.
“Intinya membangun kesepahaman. Hasil pembangunan tidak bermaslahat jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa,” kata Babar.
Ia menegaskan bahwa, upaya penghentian produksi minuman keras akan ditempuh melalui surat resmi kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memiliki kewenangan penuh dalam penerbitan izin usaha bagi Penanaman Modal Asing.
“Surat ke BKPM karena izin usaha diterbitkan BKPM. Ini sudah berkali-kali upaya ini. Pak Gubernur mendorong kembali atas upaya-upaya sebelumnya,” tuturnya.
Babar menambahkan, aspirasi para ulama akan menjadi bagian dari evaluasi lebih lanjut terkait penutupan pabrik tersebut. Pemerintah, kata Babar, akan menempuh langkah sesuai kewenangan namun tetap memperhatikan masukan masyarakat.
“Harapan para ulama seperti itu,” ujarnya. ***

















