Publik dikejutkan dengan kabar adanya sebuah SMA Negeri yang seluruh siswanya mengadakan mogok sekolah karena tidak terima salah satu temannya dihukum akibat merokok di lingkungan sekolah.
Aksi mogok ini bukan hanya bentuk ketidakpatuhan siswa terhadap aturan sekolah, tetapi juga menjadi cermin buram krisis moral dan adab di kalangan pelajar hari ini.
Fenomena mogok sekolah ini menunjukkan bahwa sebagian siswa tidak lagi menempatkan sekolah sebagai tempat pembentukan karakter dan disiplin melainkan sekadar ruang belajar akademik yang boleh dinegosiasikan sesuai perasaan.
Padahal, hakikat pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia berilmu sekaligus beradab.
BACA JUGA: BAN-PT Rilis Kebijakan Akreditasi Pendidikan Tinggi 2025, Fokus pada Mutu Berkelanjutan
Melanggar Aturan, Bukan Hak untuk Diperjuangkan
Perlukan Hak untuk Diperjuangkanu ditegaskan, merokok di lingkungan sekolah bukanlah “hak siswa”, melainkan tindakan pelanggaran disiplin dan kesehatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, secara tegas disebutkan bahwa anak di bawah usia 18 tahun dilarang merokok dan dilarang berada di lingkungan yang menjual atau mempromosikan rokok.
Lebih jauh lagi, banyak daerah di Provinsi Banten, termasuk Kota Serang dan Kabupaten Lebak memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang mencakup sekolah sebagai area bebas asap rokok.
Maka, tindakan sekolah memberikan hukuman kepada siswa yang merokok adalah bentuk tanggung jawab moral dan hukum, bukan bentuk kekerasan atau penindasan.
Ketika sekelompok bahkan seluruh siswa justru melakukan aksi mogok sebagai bentuk solidaritas, itu menandakan terbaliknya nilai moral – bahwa pelanggaran dianggap sebagai sesuatu yang pantas dibela, sementara ketegasan pendidik dianggap sebagai sebuah kesalahan.
BACA JUGA: Gubernur Banten Nonaktifkan Kepala SMAN 1 Cimarga: Saya Sudah Perintahkan
Krisis Moral dan Hilangnya Rasa Hormat
Kita hidup di era di mana kebebasan sering disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas.
Padahal, pendidikan di Indonesia berdiri di atas nilai-nilai luhur sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Jika adab dan akhlak tidak lagi dijunjung tinggi di sekolah, maka kita sedang menuju masa depan yang berbahaya – di mana ilmu tidak lagi menumbuhkan kebijaksanaan, melainkan hanya melahirkan kecerdasan tanpa arah moral.
BACA JUGA: Ruang Kelas SMA Negeri 1 Cimarga Masih Kosong, Mogok Sekolah Berlanjut
Peran Guru dan Sekolah Tidak Boleh Melemah
Dalam situasi seperti ini, sekolah tidak boleh gentar menegakkan disiplin. Guru bukan musuh siswa, melainkan pembimbing yang berperan menjaga masa depan mereka.
Ketika seorang siswa dihukum karena melanggar aturan, itu bukan bentuk dendam, tetapi bentuk cinta — cinta yang diwujudkan dalam tanggung jawab untuk membentuk karakter.
Maka, sudah saatnya dukungan moral dari masyarakat, orang tua, dan pemerintah diberikan kepada sekolah yang masih berani menegakkan aturan.
Jangan biarkan pendidik berdiri sendiri menghadapi gelombang opini yang menyesatkan nilai.
BACA JUGA: Dukungan untuk Kepala SMAN 1 Cimarga Terus Mengalir, Slogan Dukung Bu Kepsek Menggema
Kembali ke Akar Pendidikan: Adab Sebelum Ilmu
Pepatah klasik para ulama menyebutkan, “Man tafaqqaha bila adabin faqad tafasqaha” – “Barang siapa belajar tanpa adab, maka sesungguhnya ia sedang menempuh jalan menuju kefasikan.”
Ungkapan ini relevan sekali dengan kondisi pelajar hari ini. Banyak yang cerdas, tapi kehilangan sopan santun. Banyak yang kritis, tapi lupa menghormati guru.
Sudah waktunya sistem pendidikan Indonesia kembali memperkuat pendidikan moral, adab, dan spiritualitas. Tanpa itu, sekolah hanya akan menjadi pabrik ijazah, bukan taman pembentukan akhlak mulia.
BACA JUGA: Polres Lebak Periksa Dua Saksi dalam Dugaan Kasus Penamparan di SMA Negeri 1 Cimarga
Penutup
Aksi mogok sekolah sebagai bentuk protes terhadap penegakan disiplin hanyalah gejala permukaan dari persoalan yang lebih dalam: hilangnya pemahaman tentang makna pendidikan sejati.
Mari kita dukung guru, hormati sekolah, dan tanamkan kembali nilai bahwa pendidikan bukan sekadar belajar tentang “apa”, tetapi juga tentang “bagaimana menjadi manusia yang beradab.”***