Oleh: Riswanda
Tingginya angka trend pencarian ‘lirik Lagu Ibu Kita Kartini’ sebanyak 20 ribu perncarian di google trend, pas menandai momentum disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) oleh DPR RI.
Publik mencatat sepuluh tahun jeda waktu sebelum alhasil 12 April 2022 lalu sahih menjadi regulasi perundangan. Dirgahayu, bukti kehadiran negara dimana Indonesia sedang dalam situasi darurat kekerasan seksual (Sorotan Riswanda, 2022).
Sudah cukup jelas konstruksi ulasan Riswanda (2022) mengenai ‘keniscayaan hadirnya UU TPKS’ di awal tahun ini. Berikut ulasan lainnya terkait arti penting kesepakatan pemahaman arah dan tujuan resolusi cetak biru darurat kekerasan seksual.
Catatan kritis selanjutnya, seberapa jauh kehadiran UU ini dapat mengubah situasi kedaruratan tadi. Genting sebenarnya, untuk tidak memahami kedatangan cetak tebal sepuluh poin di UU ini sekadar dari sisi normatif, utopis dan unsur luar-biasa-sebuah-terobosan.
Melainkan lebih kepada bagaimana keberlanjutan eksekusi nilai visioner terbarukan tersebut, justru saat gebyar peluncuran perdana ini telah usai.
Pekerjaan rumah bagi eksekutor kebijakan di lingkup kewilayahan, sepertinya lebih kepada bagaimana mengatasi belum optimalnya kanal keadilan dan pemenuhuan kebutuan hak korban.
Dan bukan hanya drama berat hukuman bagi pelaku kekerasan. Kendatipun, tepuk tangan patut dibunyikan secara progresif mengingat sedikitnya ada dua poin penting yang laik mendapat sorotan kebijakan.
Anasir pertama, bahwa kekerasan seksual online masuk dalam kategori atau kacamata perhatian untuk melindungi korban. Sebelum pengesahan paripurna hadir, korban malah bisa dituntut balik dengan UU ITE semisal tuduhan boomerang pencemaran nama baik.
Relatif di kebanyakan kasus, korban cenderung bungkam dan akhirnya kasus berujung sepi begitu saja. Stigma sosial dan lakon kekuasaan mengiringi sandiwara hipokritisme.
Youth Proactive (2016) mengutip penilikan oleh Magdalene dan Lentera Sintas Indonesia, berkerjasama dengan Change.org Indonesia, menggores 93% dari 1636 responden tidak melaporkan kasusnya ke pihak berwajib.
Studi ini berani juga menyatakan bahwa hanya satu persen saja, dari responden mereka, yang mengalami perkosaan, kasusnya diusut tuntas oleh pihak berwajib. Artinya apa? Terkait dengan keterbukaan informasi publik, mungkin perlu lanjut diperhatikan.
Perihal berapa banyak ajuan pengaduan yang terekam di hotline pengaduan Kemen PPA, misalnya, jika perlu dibuat keterangan berjenjang. Aduan kasus mana yang hanya sampai jenjang terdokumentasi, sampai mana ditindaklanjuti dan bagaimana jalannya di persidangan.
Contoh pembelajaran di aspek terkait, Kemen PPPA (2022) melewarkan, ada 797 anak menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari — setolok 9,13 persen dari total anak korban kekerasan seksual sepanjang 2021 lalu, yang menyentuh angka 8.730.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak merekam kenaikan tren bilangan kasus kekerasan seksual kepada anak, dengan tafsiran masyarakat sekarang lebih berani melapor. Ini saja sebetulnya adalah termasuk sebuah pencapaian.
Anasir kedua juga layak apresiasi, yaitu terjanjikan UU menjamin pemenuhan hak korban mendapatkan restitusi melalui skema Dana Bantuan Korban. Termasuk didalamnya mengatur penyitaan aset pelaku.
Komisioner Komnas Perempuan (2016) pernah menyatakan hubungan antara kurangnya pengaduan kekerasan seksual oleh responden, bisa jadi berhubungan dengan rendahnya kepercayaan terhadap penegak hukum sendiri.
Apa arti penting flashback catatan ini? Bagaimana UU TPKS sah mampu mengatasi kebolehjadian masih banyaknya korban kekerasan seksual yang tidak berani menceritakan pengalaman kekerasannya, apalagi mendatangi lembaga pengada layanan untuk meminta pertolongan.
Cara menangani kah permasalahannya? Kajian perbandingan fakta (facts) dan nilai (values) nya seperti apa? Jangan sampai bercampur baur antara objektivitas kenyataan sebenarnya dengan subjetivitas nilai ideal yang diharapkan.
Jangan sampai perundangan instimewa ini perkasa di atas kertas, namun lunglai di tataran pelaksanaan.
Semoga petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan eksekusi perundangan ini di lapangan turut memandu bagaimana ruang aman bagi perempuan Indonesia.
Sanggup menanggulangi ragam jenis kasus kekerasan seksual, sampai kepada yang bersifat ‘extraordinary’ (UU TPKS, Sorotan Riswanda 2022). Termasuk pengembangan kapasitas eksekutor kebijakan, hendaknya terprogram dan lebih lagi berbasis kesesuaian spesialisasi. Pilihan ahli berbasis tetangga baik dan ipar jauh penguasa, katakanlah begitu, harus sudah mulai dihindarkan.
Reaksi opini berbasis asumsi tentu bukan gambaran ideal sebuah badan pemerintahan menyikapi kasus berkarakter sensitif-sosial, utamanya seperti TPKS. Penyertaan konsistensi regulasi terkait, untuk nantinya tidak bertumpang-tindih di tataran implementatif adalah kunci.
Peta sebaran masalah sudah merupakan basis cakap antisipasi-solusi. Tinggal, memadankan puzzles atau sebut saja sebaran aksi, seyogyanya menjadi frasa kunci keberhasilan inovasi capaian target ruang aman bagi perempuan. Sosialisasi kebijakan saja tidak cukup. Pilihan edukasi kebijakan merupakan pilihan bijak. ***
Penulis adalah associate professor analisis kebijakan publik Untirta










