BANTENRAYA.COM – Tim dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) melaksanakan pelatihan dan bimbingan teknis pemanfaatan teknologi pemantauan lingkungan pesisir bagi komunitas nelayan.
Kegiatan berlangsung di Desa Tanjungjaya, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang yang dimulai pada Kamis, 20 November 2025 hingga Desember mendatang.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program pengabdian masyarakat yang mengusung tema Integrasi Pengetahuan Sains dan Kearifan Lokal untuk Konservasi Ekosistem Pesisir.
BACA JUGA: JISPA Sediakan Beasiswa Kuliah Gratis di Jepang, Tinggal Kuliah Nggak Perlu Mikir Apa-apa
Program tersebut mendapatkan dukungan pendanaan dari Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, sehingga pelaksanaannya dapat menjangkau kelompok nelayan secara lebih komprehensif dan berkesinambungan.
Pelatihan ini menghadirkan lebih dari lima puluh peserta yang terdiri dari nelayan dan warga pesisir setempat.
Antusiasme peserta tampak sejak awal kegiatan, khususnya karena pelatihan ini memperkenalkan perangkat teknologi yang secara langsung menjawab tantangan yang mereka hadapi dalam aktivitas melaut sehari-hari.
Teknologi yang diperkenalkan meliputi weather station, Refraktometer, alat uji salinitas dan pH, serta instrumen sederhana untuk pencatatan curah hujan seperti ombrometer.

Semua alat ini dipilih bukan hanya karena tingkat akurasinya dalam menyediakan informasi ilmiah, tetapi juga karena dapat dioperasikan secara mandiri oleh warga setelah pelatihan selesai.
Dalam sambutannya, Ketua Tim Dosen UNTIRTA, Mahpudin, menjelaskan bahwa dinamika perubahan iklim dalam beberapa tahun terakhir telah membuat pola cuaca semakin tidak dapat diprediksi.
Masyarakat nelayan yang selama ini bergantung pada pengetahuan tradisional seperti arah angin, warna awan, dan tanda-tanda di permukaan laut kini menghadapi tantangan lebih besar akibat semakin seringnya terjadi anomali cuaca.
Karena itu, kemampuan membaca data ilmiah menjadi kebutuhan mendesak yang harus disesuaikan dengan konteks lokal.
Menurut Mahpudin, pendekatan ko-kreasi yang digunakan dalam program ini memastikan bahwa sains modern tidak menggantikan kearifan lokal, melainkan memperkaya cara pandang dan strategi adaptasi masyarakat pesisir.
Ia menegaskan bahwa tujuan utama program adalah menumbuhkan kebiasaan citizen science di kalangan nelayan, yaitu kebiasaan warga untuk mengumpulkan, menganalisis, dan memanfaatkan data ilmiah secara mandiri.
“Masyarakat nelayan memiliki tradisi panjang dalam membaca tanda-tanda alam. Namun perubahan cuaca yang semakin ekstrem membuat indikator tradisional tersebut sering tidak stabil. Melalui pelatihan ini, kami ingin memastikan bahwa nelayan memiliki kapasitas untuk memadukan kearifan lokal dengan informasi ilmiah yang bersumber dari instrumen modern,” ujar Mahpudin.
Mahpudin juga menekankan bahwa weather station menjadi instrumen penting dalam pelatihan karena alat ini mampu mencatat berbagai variabel cuaca seperti kecepatan angin, arah angin, suhu udara, kelembapan, dan curah hujan secara real-time.
Informasi tersebut dapat membantu nelayan menentukan waktu melaut yang aman dan merencanakan kegiatan penangkapan ikan dengan risiko yang lebih rendah.
Sementara itu, Refraktometer memungkinkan nelayan memetakan keberadaan ikan serta struktur dasar laut, sehingga meningkatkan efisiensi penangkapan sambil tetap menjaga keselamatan di laut.
Alat uji salinitas dan pH digunakan untuk membaca kondisi kesehatan perairan, terutama menjelang peralihan musim ketika kualitas air berubah dan berdampak pada keberadaan ikan.
Ketua Kelompok Nelayan Wahana Anak Pantai, Arif, menyampaikan bahwa pelatihan ini menjadi pengalaman baru yang sangat bermanfaat bagi nelayan Tanjungjaya.
Selama ini, sebagian besar keputusan melaut ditentukan berdasarkan pengalaman turun-temurun.
Namun perubahan cuaca yang semakin ekstrem sering membuat tanda-tanda alam tidak lagi seakurat dulu.
Dengan adanya teknologi seperti weather station dan Refraktometer, nelayan dapat memperoleh informasi tambahan yang lebih terukur.
Arif menyatakan bahwa kemampuan memantau kondisi laut melalui data ilmiah memberikan rasa aman sekaligus meningkatkan kepercayaan diri mereka saat harus melaut pada musim-musim yang tidak stabil.
“Selama ini kami mengandalkan pengalaman, arah angin, warna awan, atau gerakan ombak. Dengan alat seperti weather station dan Refraktometer, kami bisa melihat data yang lebih jelas. Ini sangat besar manfaatnya, terutama untuk keselamatan kami saat melaut,” jelas Arif.
Pelaksanaan pelatihan berlangsung dalam bentuk praktik langsung, sehingga peserta tidak hanya memahami teori, tetapi juga langsung memegang dan mengoperasikan alat yang diperkenalkan.
Para nelayan diajak membaca hasil pengukuran cuaca, mempraktikkan penggunaan Refraktometer melalui simulasi, serta menguji sampel air laut menggunakan alat salinitas dan pH. Selain itu, para peserta juga mempelajari cara membuat ombrometer dari botol bekas dan cara mencatat hasil pengukuran harian melalui logbook komunitas.
Pendekatan praktis ini dirancang agar teknologi yang diperkenalkan tidak menimbulkan kesan rumit atau terlalu teknis, melainkan mudah digunakan dalam rutinitas nelayan.
Kegiatan ini tidak berhenti pada tahap pelatihan awal. Dalam beberapa bulan setelah kegiatan, tim dosen UNTIRTA akan melakukan pendampingan berkala melalui mekanisme monitoring, evaluasi, dan pertemuan rutin untuk analisis data bersama warga.
Nelayan Tanjungjaya akan didorong untuk melakukan pencatatan harian cuaca dan kondisi air laut, kemudian membandingkan data tersebut dengan indikator kearifan lokal yang selama ini mereka gunakan.
Data yang terkumpul akan dipublikasikan melalui papan informasi cuaca desa sehingga dapat diakses oleh seluruh warga.
Dengan demikian, proses produksi pengetahuan ilmiah di tingkat komunitas tidak hanya memperkaya pemahaman individu, tetapi juga memperkuat pengambilan keputusan kolektif dalam komunitas pesisir.
Program ini diharapkan menjadi model penting dalam penguatan literasi saintek di masyarakat pesisir Banten.
Melalui perpaduan antara sains modern dan kearifan lokal yang diintegrasikan secara partisipatif, nelayan Tanjungjaya kini mulai memasuki ekosistem pembelajaran baru yang lebih adaptif terhadap tantangan perubahan iklim.
Pendekatan ko-kreasi yang diterapkan tim UNTIRTA sekaligus menunjukkan komitmen lembaga pendidikan tinggi dalam mendukung ketahanan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui penguatan kapasitas berbasis pengetahuan.***



















