BANTENRAYA.COM – Pipit Piharsih seorang penulis, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap karya tulis siswa kelas 10 SMA Terpadu Al-Qudwah Rangkasbitung berjudul “Bara Cita di 14 Juli”.
Buku “Bara Cita di 14 Juli” diluncurkan bersama dengan “Surat-Surat dari Hati Ayah” karya bapak guru Supadillah pada Senin, 20 Oktober 2025 di Aula Granada, Komplek Pendidikan Al-Qudwah.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Direktur Pendidikan Sekolah Terpadu Al-Qudwah, KH. Samson Rahman, MA.
BACA JUGA: Catatkan Penjualan 6 Ribu Unit, Kijang Innova Jadi Mobil yang Terlaris Periode September 2025
Selain peluncuran, acara dibarengi dengan bedah buku. Pipit Piharsih menilai buku “Bara Cita di 14 Juli” bukan sekadar karya remaja biasa, melainkan menunjukkan kedewasaan berpikir dan refleksi yang mendalam dari generasi muda.
“Ketika pertama kali membaca naskah ini, saya langsung merasakan bahwa buku ini bukan sekadar catatan harian atau kumpulan refleksi remaja. Ia adalah perjalanan batin—tentang bagaimana sebuah tanggal, 14 Juli, menjadi penanda sekaligus simbol dari bara semangat yang tak pernah padam,” ujar Pipit.
Menurutnya, buku “Bara Cita di 14 Juli” menggambarkan keberanian anak muda dalam menulis secara jujur dan terbuka.
BACA JUGA: 52 SPPG di Kota Serang Masih Berproses Membuat Sertifikat Layak Higienis Sanitasi
“Kekuatan terbesar buku ini adalah kejujurannya. Ia tidak menyembunyikan perih, kegagalan, atau keterbatasan. Justru dari kejujuran itulah lahir pesan yang menyentuh hati: bahwa cita-cita tidak selalu lahir dari hal besar, tetapi dari api kecil yang terus dijaga nyalanya,” tambahnya.
Komentar Pipit Piharsih Soal Gaya Bahasa di Karya Siswa SMA Terpadu Al-Qudwah
Pipit juga memberikan perhatian khusus pada gaya bahasa yang digunakan, yang menurutnya sederhana namun tetap memiliki kedalaman makna.
BACA JUGA: Update Trauma Healing SMAN 1 Cimarga, RSUD Adjidarmo Cuma Kirim 1 Psikolog untuk 634 Siswa
“Bahasanya kadang puitis, kadang naratif. Mungkin belum selalu rapi secara struktur, tapi justru kesederhanaan itulah yang membuatnya hangat dan otentik,” tuturnya.
Lebih lanjut, Pipit menilai bahwa karya semacam ini penting sebagai wadah bagi pelajar untuk mengekspresikan diri dan menggali potensi literasi.
“Membaca ‘Bara Cita di 14 Juli’ seakan mengajak kita bercermin: apa ‘14 Juli’ dalam hidup kita? Apa momen yang membuat kita tergerak, terluka, tapi kemudian bangkit dan berjuang lebih kuat?” katanya.
BACA JUGA: Raih Beasiswa Pascasarjana Bergengsi Irlandia, Selamat Berkarier Riset di Tingkat Internasional

Di akhir pandangannya, Pipit menegaskan bahwa karya tersebut bukan hanya cerminan dari penulisnya, tetapi juga representasi semangat generasi muda yang terus belajar dan bertumbuh.
“Buku ini mengingatkan bahwa setiap luka bisa melahirkan cahaya, setiap tanggal bisa menjadi simbol, dan setiap cerita pribadi bisa menjadi sumber inspirasi bersama,” tutupnya. ***