BANTEN RAYA.COM – Sebanyak 834 warga Banten saat ini tercatat menderita Thalassemia mayor, yang merupakan penyakit kelainan darah kronis yang membutuhkan transfusi seumur hidup. Angka ini mengalami peningkatan sekitar 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di kisaran 700 kasus.
Data tersebut sebagaimana diungkap oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, Ati Pramudji Hastuti dalam pertemuan antara Gubernur Banten Andra Soni dan Persatuan Orangtua Penderita Thalassemia (Popti) Tangerang Selatan di Pendopo Lama, Gedung Negara Pemprov Banten, Kota Serang, Selasa, (5/8/2025).
“Kalau trennya sekarang memang sedang naik, baik di Banten maupun Nasional,” kata Ati.
“Setiap tahun memang kasusnya mengalami kenaikan. Di 2023 kita mencatat sebanyak 654, 2024 itu 700 kasus, tahun ini 834. Memang trennya naik ya. Tapi tentu kita upayakan bagaimana agar penderita Thalassemia ini bisa terdata dan tertangani dengan baik,” lanjut Ati.
Ia menyampaukan, Thalassemia mayor umumnya muncul jika kedua orang tua sama-sama membawa sifat Thalassemia minor. Kombinasi gen tersebut bisa menghasilkan keturunan dengan kelainan darah kronis yang parah.
Baca Juga: Cegah Bahaya Pohon Roboh, Pemprov Gandeng IPB Periksa Pohon Tua
“Kalau pembawa sifat itu menikah dengan sesama pembawa, maka salah satu atau bahkan semua anak bisa lahir dengan Thalassemia mayor,” jelasnya.
Ati menerangkan, dampak dari genetik thalassemia tidaklah sederhana. Para pasien membutuhkan transfusi darah secara berkala, serta pengawasan medis yang intensif seumur hidup. Sayangnya, di Banten masih banyak rumah sakit yang belum memiliki layanan komprehensif untuk menangani pasien Thalassemia, khususnya dalam skema pembiayaan BPJS Kesehatan.
“Saat ini kendalanya ada di rumah sakit atau layana kesehatan. Seperti di Tangsel, Rumah Sakit tipe B ini dari empat rumah sakit yang ada, masih ada yang belum menerima pasien Thalassemia mayor dengan BPJS,” kata Ati.
Ati mengatakan, hal ini menjadi sorotan utama bagi komunitas Popti Tangsel. Dimana, mereka meminta pemerintah daerah turun tangan agar seluruh fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan setara bagi pasien Thalassemia, tanpa mempersulit akses atau biaya.
Ati menjelaskan, pihaknya berkomitmen akan melakukan koordinasi dengan seluruh rumah sakit tipe B, baik milik pemerintah maupun swasta. Tujuannya, agar pelayanan terhadap penderita Thalassemia dapat diperluas dan dimudahkan.
“Kami akan panggil semua rumah sakit agar mereka ikut berkontribusi. RSUD Banten sendiri sudah bisa meng-cover seluruh penanganan Thalassemia,” katanya.
Baca Juga: 50 Pegawai RSUD Banten Ikut Pembinaan Mental di Grup 1 Kopassus
Ia juga berharap, ke depan akan muncul rumah sakit tipe C yang naik kelas ke tipe B, sehingga distribusi layanan tidak terpusat di satu-dua titik saja.
Dari sisi pencegahan, Ati mengingatkan pentingnya edukasi dan skrining kesehatan sebelum menikah. Pemeriksaan darah untuk mendeteksi sifat Thalassemia seharusnya sudah menjadi bagian dari persiapan pernikahan.
“Pemeriksaan pranikah itu sudah wajib, tapi kesadaran masyarakat masih rendah. Padahal ini penting untuk mencegah anak-anak kita lahir dengan risiko penyakit bawaan,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Banten Andra Soni mengaku prihatin atas masih terbatasnya layanan bagi penderita Thalassemia di Banten. Ia menyebut, penanganan penyakit genetik seperti ini membutuhkan kolaborasi banyak pihak dan tidak bisa hanya diserahkan pada pasien atau keluarga.
“Mereka yang hidup dengan Thalassemia adalah pejuang. Pemerintah harus hadir untuk mereka. Saya sudah minta Dinkes menindaklanjuti keluhan yang disampaikan Popti Tangsel,” kata Andra.
Ia menambahkan, sistem yang ada saat ini sebenarnya sudah berjalan, namun tetap membutuhkan pembaruan dan perluasan layanan.
“Apa yang sudah kita bangun harus terus diperbaiki. Karena penyakit seperti Thalassemia ini tidak bisa ditunda-tunda penanganannya,” tandasnya. (***)