BANTENRAYA.COM – Komunitas seni inklusi Bawayang dari Yogyakarta yang merangkul penyandang disabilitas menampilkan pementasan seni pertunjukan di Auditorium Rumah Dunia, Kota Serang, Banten, Selasa (18/2/2025).
Empat dari tujuh pemain merupakan penyandang disabilitas, dengan ketunaan berupa tuna rungu dan tuna netra. Bagaimana bisa?
Auditorium Rumah Dunia seketika minim cahaya setelah lampu diredupkan. Dari balik sebuah kain putih terlihat bayang beberapa orang yang timbul tenggalam akibat permainan cahaya senter dari baliknya.
Baca Juga: OKK PWI Banten Dihadiri Ratusan Peserta, Mashudi: Kita Kembali ke Rumah Besar PWI
Tiba-tiba dari balik kain itu muncul seorang remaja bernama Arif yang tuna rungu berperan sebagai tukang sate mengenakan pakaian surjan lurik khas Jogja. Mukanya dicat putih layaknya seniman pantomim. Secara pantomim, Arif menirukan gerakan menata sate, mengipasinya hingga matang, lalu menyuguhkannya kepada pembeli.
.
Selang beberapa waktu, muncul Faii yang juga tuna rungu berperan sebagai tokoh wanita. Secara pantomim, Faii digambarkan sebagai seorang wanita yang sok jual mahal. Beberapa kali Arif menawari agar Faii membeli satenya namun ditolak dengan ketus oleh Faii. Lalu, tiba-tiba ada yang menyambar tas Faii. Dia kecopetan.
Faii mencoba mengejar si pencopet namun gagal. Akhirnya, Arif pun menolongnya. Arif menghajar si pencopet lalu mengambil tas dan menyerahkannya kepada Faii.
Baca Juga: PT Wika Kerahkan Alat Berat, Kades Minta Segera Dilakukan Normalisasi Kali Cisangu
Merasa ditolong, Faii yang semula jutek berubah ramah lalu jatuh hati pada Arif. Adegan diakhiri dengan Faii yang mengandung lalu memiliki seorang anak laki-laki.
Di sela-sela adegan Arif dan Faii yang sedang jatuh cinta, Rizka yang tuna netra menyanyikan lagu “My Heart Will Go On”. Suara Rizka yang bening dan tinggi menambah adegan menjadi padu. Di antara adegan itu juga terdengar suara Yuda yang tuna netra membacakan bait-bait puisi indah.
Cerita sederhana komunitas Bawayang yang dipadu dengan pantomim, musik, tari, permainan cahaya, dan suara merdu pemainnnya menyihir seluruh penonton di auditorium Rumah Dunia siang itu. Bahkan, ada yang sampai terlihat pengusap air mata. Cerita dimainkan oleh Rizka, Yuda, Arif, Faii, Dina, Alya, dan Lia yang sebagian bekerja di balik layar.
Baca Juga: PKS Cilegon Minta Efisiensi Tak Korbankan Kebutuhan Infrastruktur Umum
Menurut Broto Wijayanto, seniman lulusan tater ISI Yogyakarta pendiri Bawayang, kesenian bisa menumbuhkan kepercayaan diri penyandang disabilitas. Ketika mereka tampil di panggung lalu penonton memberi tepuk tangan, saat itu mulai tumbuh rasa percaya diri mereka. Semakin sering mereka tampil dan diapresiasi, maka akan semakin besar rasa percaya diri mereka.
Dengan semakin meningkatnya kepercayaan diri, mereka akan mulai bisa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama. Setelah itu, mereka akan bisa lebih mandiri.
“Kalau sudah lebih dari 10 kali mereka sudah pede dan bahkan kenalan dengan orang lain itu sudah lebih berani untuk datang duluan,” kata Broto.
Baca Juga: TRC Kota Tangerang Siaga 24 Jam Tangani Orang Terlantar dan ODGJ
Broto mengatakan, yang terpenting bagi penyandang disabilitas adalah menumbukan kepercayaan diri mereka. Hal itu bisa dimulai dari bertanya, apa yang mereka sukai dan apa yang ingin mereka lakukan? Setelah itu, beri ruang untuk mereka berekspresi dan berikan apresiasi. Bila ini terus dilakukan, para difabel akan lebih percaya diri dan berani menghadapi dunia.
Terbukti, para difabel yang aktif di komunitas Bawayang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Dengan itu, mereka bisa mandiri bahkan berprestasi. Arif, misalnya, sudah menampilkan pantomim di beberapa negara, misalnya Australia dan Amerika. Sementara Yuda meski tuna netra bisa ke mana-mana secara mandiri, bahkan naik ojek online, dengan bantuan ponsel.
Bawayang, kata Broto, selama ini menjadi tempat nongkrong bagi para difabel. Di sana mereka bisa curhat satu sama lain, satu hal yang tidak bisa mereka lakukan di rumah. Sebab rata-rata orang tua mereka tidak cukup bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang mereka gunakan. Maka, Bawayang menjadi mereka curhat satu sama lain.
Baca Juga: Mudah Dihafal, Inilah Bacaan Niat Membayar Fidyah Puasa Ramadhan
“Karena ketika mereka pulang ke rumah orang tua itu hanya tahu bahasa insyarat ‘ayo tidur’, ‘ayo mandi’ sudah itu saja. Padahal mereka butuh bercerita. Tadi aku di jalan ketemu orang gila, dia lari-lari aku takut,” katanya menirukan.
Ketika cerita itu hanya dipendam tanpa bisa disampaikan oleh para penyandang disabilitas, maka akhirnya mereka menjadi takut. Itulah yang menghambat tumbuhnya kepercayaan diri mereka.
Di Bawayang mereka bisa cerita apa pun, kepada siapa pun, baik kepada sesama difabel maupun yang bukan. Dengan seni, anak-anak spesial ini mampu menundukkan keterbatasan mereka.
Ketua Yayasan Solid Art Indonesia Alwin Prayoga mengatakan, komunitas-komunitas yang peduli pada difabel di Yogyakarta sudah sangat maju. Bahkan, Yogyakarta punya pekan disabilitas yang memberikan ruang bagi para penyandang disabilitas untuk berekspresi.
Baca Juga: Kisah Sukses UMKM Kebumen, Handicraft Serat Alam Mendunia Berkat Dukungan BRI
Karena itu, dia melakukan studi banding ke komunitas Bawayang dan berdiskusi bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas. Meski untuk bisa jadi seperti Yogyakarta saat ini mustahil bagi Banten, namun dia yakin mimpi itu bisa disemai dan ditumbuhkan. Atau paling tidak, dimulai dulu. Apalagi, sudah mulai bermunculan sejumlah komunitas di Banten yang peduli pada difabel. ***