BANTENRAYA.COM – Keberadaan pemecah ombak di sepanjang garis pantai di Desa Citeureup, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang yang dibangun pasca adanya bencana tsunami Selat Sunda beberapa tahun lalu rupanya memberikan dampak negatif kepada para nelayan.
Para nelayan di kawasan tersebut mengaku bahwa perahu mereka kerap rusak akibat menabrak pemecahan ombak yang tersusun dari bebatuan itu.
Salah seorang nelayan, Rudi menyebut bahwa kerusakan perahu biasanya terjadi saat ombak tengah naik.
Saat itu terjadi, perahu mereka biasa terbawa hingga akhirnya tertabrak pemecah ombak tersebut.
“Kalau kapal sudah nabrak, yaudah kadang nelayan cuma bisa melamun. Kapal mereka pasti bocor. Nelayan juga pasti rugi karena biaya perbaikan sangat mahal, kadang tak sebanding dengan uang yang diperoleh dari hasil melaut,” kata Rudi, Selasa, 20 Mei 2025.
Baca Juga: Target Pendapatan Pemprov Banten Diproyeksikan Menyusut pada APBD Perubahan 2025
Secara umum, Rudi sendiri menyampaikan bahwa para nelayan sendiri sebetulnya mendukung keberadaan pemecah ombak di garis pantai tersebut.
Hal itu tentunya bisa mengurangi dampak abrasi pesisir akibat ombak dari laut.
Kendati begitu, langkah pemerintah dinilai tak tuntas.
Kata Rudi, pemerintah juga harusnya dapat menengok sisi lain dengan dibangunnya pemecah ombak pesisir pantai itu.
Jika memang pemerintah mendukung nelayan, mereka seharusnya turut membangun pemecah ombak di lepas pantai.
Baca Juga: Dewan Desak Pemprov Banten Segera Rampungkan Aturan Soal Sekolah Gratis
Meski daerah pesisir terlindungi, keberadaan pemecah ombak di pesisir tanpa ada pemecah ombak di lepas pantai tentu membuat ombak di spot penyimpanan kapal semakin besar.
“Sejak ada pemecah ombak, ya jelas ombak yang menghantam kapal lebih besar. Harusnya pemerintah turut membangun pemecah ombak di tengah laut juga buat ngurangin ombaknya,” papar Rudi.
Rudi juga membandingkan, sebelum adanya pemecah ombak tersebut, nelayan biasanya cukup menggunakan satu atau dua jangkar agar perahu mereka tetap aman ketika tak digunakan.
Namun saat ini, nelayan setidak butuh hingga empat buah jangkar.
Baca Juga: Isu Mutasi dan Rotasi di Pemkot Cilegon Berembus, Kepala BKPSDM Tidak Tahu
“Kadang empat sampai lima jangkar pun kapal masih terbawa saking besarnya ombak. Sayang sekali pemerintah tidak memikirkan dampaknya sampai seperti itu,” terang dia.
Selain itu, Rudi juga berharap pemerintah bisa membangun docking kapal sebagai tempat bersandar.
Keberadaan docking kapal dinilai sesuai yang vital bagi nelayan ketika hendak melakukan perawatan, perbaikan, maupun pembuatan kapal baru.
“Setelah adanya pemecah ombak itu juga, kita agak susah mau menaikan atau menurunkan kapal. Memang sudah seharusnya ada tempat docking kapal,” tandasnya.***