BANTENRAYA.COM – Sampurasun, bapak-bapak dan khusus Ibu-ibu teteh-teteh sekalian, semoga hari ini dapur bapak ibu selalu mengepulkan aroma kebahagiaan bagi keluarga. Pernahkah terbersit di pikiran kita saat sedang menuangkan minyak goreng ke atas penggorengan, bahwa ada hubungan erat antara aktivitas memasak kita dengan hilangnya hutan-hutan hijau di tanah air? Sebagai pengatur rumah tangga, Ibu-ibu adalah salah satu pemegang kunci keberlanjutan bumi. Kita perlu menyadari bahwa ketergantungan kita pada minyak goreng secara tidak langsung telah mendorong laju deforestasi yang merusak keseimbangan iklim dan ketersediaan air bagi anak cucu kita di masa depan.
Secara ilmiah, perluasan perkebunan sawit sering kali dilakukan dengan cara land clearing atau pembersihan lahan yang mengharuskan hutan alam dibabat habis. Hutan yang asalnya kaya akan keragaman hayati dipaksa menjadi lahan monokultur, yaitu lahan yang hanya ditanami satu jenis tanaman saja. Dampaknya sangat nyata bagi kita di Indonesia; suhu udara terasa semakin hareudang dan air sumur di pemukiman terkadang lebih cepat saat saat musim kemarau tiba. Hal ini terjadi karena hutan yang seharusnya menjadi spons alami untuk menyerap air hujan telah hilang, digantikan oleh sawit yang justru sangat rakus air dan nutrisi tanah. Data menunjukkan bahwa ekspansi sawit adalah salah satu penyebab utama hilangnya habitat satwa dan berkurangnya kemampuan bumi menyerap emisi karbon. Namun, kita tidak perlu berkecil hati, karena masyarakat Sunda sebenarnya memiliki “senjata” warisan leluhur untuk melawan tren merusak ini, yaitu melalui kekayaan gastronomi tradisional kita yang sangat minimal menggunakan minyak.
Mari kita tengok kembali ke dapur nenek moyang kita di tanah Sunda. Khazanah kuliner Sunda sebenarnya adalah salah satu gaya makan paling sehat dan paling ramah lingkungan di dunia. Istilah nyunda dalam urusan perut identik dengan kesegaran dan pengolahan yang sederhana namun kaya rasa. Kita memiliki tradisi nyeupan atau mengukus, ngulub atau merebus, serta meuleum atau membakar. Cara-cara memasak ini tidak membutuhkan setetes pun minyak goreng, namun mampu menghasilkan cita rasa yang luar biasa. Coba bayangkan hidangan pais atau pepes, di dalamnya terdapat perpaduan ikan segar, bumbu rempah yang melimpah, dan aroma daun pisang yang terkunci rapat melalui proses pengukusan. Teknik mais ini jauh lebih unggul secara nutrisi karena protein dan vitamin di dalam makanan tidak hancur oleh panasnya minyak yang berlebih, sekaligus kita ikut mengurangi permintaan pasar terhadap minyak sawit yang memicu penggundulan hutan.
Ibu-ibu teteh-teteh pasti setuju bahwa menu wajib di meja makan kita adalah lalap dan sambel dadak. Ini adalah puncak dari kesadaran ekologis masyarakat Sunda. Dengan mengonsumsi sayuran mentah yang segar seperti jengkol, peteuy, bonteng, surawung, atau leunca yang hanya dikukus sebentar, kita tidak hanya mendapatkan asupan antioksidan yang tinggi, tetapi juga memutus rantai ketergantungan pada industri minyak goreng. Makanan yang seperti inilah yang perlu kita hidupkan kembali di setiap rumah tangga. Jika jutaan Ibu-ibu teteh-teteh di wilayah Sunda secara sadar mengurangi konsumsi makanan yang diolah dengan metode deep-fry atau goreng rendam, maka permintaan nasional terhadap minyak sawit akan menurun. Penurunan permintaan ini adalah pesan kuat bagi industri bahwa kita tidak lagi membutuhkan ekspansi lahan sawit yang mengorbankan hutan primer kita.
Selain masalah lingkungan, beralih kembali ke masakan tradisional non-gorengan adalah langkah cerdas secara ekonomi dan kesehatan. Secara medis pun, minyak goreng yang digunakan berulang kali dapat menjadi sumber radikal bebas yang memicu penyakit jantung dan kolesterol. Bayangkan betapa mulianya tugas Ibu-ibu teteh-teteh dengan mengganti menu hayam goreng menjadi hayam pais/burih atau mengganti kol goreng menjadi pecel/karedok/lotek yang segar, Ibu sedang menyelamatkan jantung suami, kesehatan anak-anak, sekaligus menjaga paru-paru dunia dari deforestasi. Ini adalah bentuk perjuangan lingkungan yang paling nyata karena dilakukan langsung dari garis depan, yaitu meja makan keluarga.
Ibu-ibu teteh-teteh sekalian yang cerdas, marilah kita mulai melakukan perubahan kecil namun berdampak besar. Jangan biarkan dapur kita menjadi bagian dari rantai perusakan alam hanya karena kita malas mencoba menu selain gorengan. Cobalah sering-sering menyajikan ulukuteuk leunca yang gurih, sayur haseum yang pedas segar, atau ikan bakar yang harum. Masakan-masakan ini adalah bukti bahwa kelezatan tidak harus dibeli dengan mengorbankan hutan. Masyarakat Sunda memiliki filosofi Mulasara Buana , yang artinya hidup harus saling menolong dan menjaga harmoni dengan alam sekitar. Jika kita menjaga hutan, maka hutan akan menjaga sumber air kita, mendinginkan hawa di sekitar rumah kita, dan menyediakan udara bersih untuk anak-anak kita bernapas.
Sebagai penutup, mari kita bangga kembali pada jati diri gastronomi Sunda yang sehat. Jadikan dapur kita sebagai laboratorium pelestarian budaya dan lingkungan. Setiap kali kita memilih untuk tidak menggoreng, kita sedang memberikan satu kesempatan bagi satu pohon di hutan untuk tetap tegak berdiri. Marilah kita didik generasi muda kita untuk mencintai rasa asli makanan tanpa harus tertutup oleh rasa tepung dan minyak yang pekat. Hutan kita adalah warisan, bukan sekadar komoditas. Dan penjaga terbaik warisan itu tidak lain adalah tangan-tangan terampil Ibu-ibu teteh-teteh semua di rumah masing-masing. Mari kita buktikan bahwa dari sepiring lalapan dan secangkir kopi hutan, kita bisa memulai revolusi hijau demi menyelamatkan bumi Nusantara yang kita cintai ini. Hirup urang Sunda, hidup hutan kita!
jadi selain “mamah nyangu“, ibu-ibu teteh-teteh sudah mais, ngulub dan nyeupan apa hari ini? ***
Oleh: Ahmad Firly, Guru Geografi SMP Terpadu Al-Qudwah, Lebak



















