Oleh: Sofia Agustina, Mahasiswa Prodi Administrasi Negara UNPAM Serang
Pelecehan di tempat kerja adalah salah satu bentuk kekerasan yang paling sering terjadi namun paling jarang terlihat.
Pelecehan di tempat kerja memiliki karakter yang halus, terselubung, dan sering dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi lebih tinggi membuat banyak korban memilih diam, seolah-olah suara mereka tidak layak untuk didengar.
Padahal, pelecehan bukan saja merusak martabat individu, tetapi juga dapat merusak tatanan profesional sebuah organisasi.
Ketimpangan Kekuasaan: Akar Masalah yang Paling Berbahaya
Di dunia kerja, kekuasaan dan hierarki sering disalahgunakan. Pelaku pelecehan, terutama yang memiliki jabatan tinggi, memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk menekan, menggoda, atau mengintimidasi korban.
Sementara itu, korban pelecehan kerap merasa serba salah: menolak bisa berakibat pada kariernya, melaporkan bisa membuatnya dikucilkan.
Sementara apabila korban pelecehan diam saja atau tidak melakukan apa-apa justru membuat penderitaan semakin dalam.
Bentuk pelecehan pun beragam, terdapat beberapa bentuk pelecehan yang sering terjadi, antara lain;
– Komentar bernada seksual,
– Candaan yang melecehkan,
– Pesan tidak pantas melalui chat,
– Tatapan yang membuat tidak nyaman,
– Permintaan atau ancaman terkait hubungan seksual demi kelancaran karier.
Ironisnya, banyak organisasi tidak menyadari betapa besar dampak dari ketimpangan kekuasaan ini terhadap perilaku pelecehan.
Budaya Victim-Blaming Masih Kuat
Di banyak tempat kerja, korban sering kali disalahkan, seperti sebagai berikut;
– “Kenapa tidak langsung menolak?”
– “Kenapa berpakaian seperti itu?”
– “Kenapa baru sekarang melapor?”
Padahal, belum tentu korban pelecehan memiliki ruang yang aman untuk menolak atau melapor. Ketakutan akan tidak dipercaya, ditertawakan, atau dianggap pembuat masalah membuat mereka memilih diam. Akibatnya, pelaku pelecehan pun merasa kebal dan terus mengulangi tindakannya ke orang lain.
Dampak Psikologis dan Profesional yang Tidak Terlihat
Pelecehan seksual bukan hanya dapat merusak perasaan korban, namun juga memengaruhi kualitas hidup dan kariernya. Korban dapat mengalami;
– Stres berkepanjangan,
– Fobia terhadap lingkungan kerja,
– Kehilangan kepercayaan diri,
– Penurunan produktivitas,
– Gangguan kecemasan dan depresi.
Lebih jauh lagi, perusahaan pun ikut dirugikan. Lingkungan kerja yang tidak aman dari pelecehan seksual membuat karyawan sulit berkembang, menciptakan budaya kerja yang toksik, dan menurunkan citra perusahaan.
Minimnya Mekanisme Pelaporan yang Aman
Banyak perusahaan memiliki aturan tertulis tentang larangan pelecehan seksual, tetapi tidak memiliki mekanisme pelaporan yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban. Ada organisasi yang bahkan membiarkan kasus ditangani oleh atasan yang justru dekat dengan pelaku. Hal ini membuat keadilan semakin sulit diraih.
Dalam beberapa kasus, korban yang melapor malah dipindahkan, dicap sebagai pembuat masalah, atau mengalami tekanan sosial dari rekan kerja. Padahal, yang seharusnya dipindahkan atau dihukum adalah pelaku, bukan korbannya.
Tanggung Jawab Moral dan Institusional
Pencegahan pelecehan seksual seharusnya menjadi sebuah prioritas utama perusahaan. Adapun beberapa langkah penting yang harus dilakukan yaitu;
Kebijakan tegas dan tertulis
– Perusahaan harus memiliki aturan jelas tentang apa yang termasuk pelecehan seksual dan sanksinya.
Pelatihan dan edukasi berkala
– Seluruh karyawan – termasuk manajemen puncak – perlu mendapatkan edukasi tentang batasan perilaku, etika profesional, dan cara melaporkan kasus.
Sistem pelaporan yang aman dan bebas intimidasi
– Korban harus bisa melapor tanpa takut akan dampak negatif terhadap kariernya.
Pendampingan psikologis dan hukum
– Perusahaan wajib menyediakan akses konseling dan bantuan hukum jika diperlukan.
Transparansi dalam penanganan kasus
– Tanpa melanggar privasi, perusahaan harus menunjukkan bahwa mereka serius dalam menindak kasus pelecehan seksual.
Kesimpulan: Lingkungan Kerja yang Aman adalah Hak, Bukan Hadiah
Pelecehan seksual di tempat kerja bukan sekadar tindakan tidak etis, tetapi kejahatan yang melanggar hak asasi, merusak karier, mengganggu mental, dan mencoreng profesionalisme. Jika tempat kerja ingin benar-benar menjadi ruang yang produktif dan sehat, maka setiap individu harus merasa aman, dihargai, dan terbebas dari ancaman seksual dalam bentuk apa pun.
Perubahan tidak akan muncul jika korban terus dipaksa diam dan pelaku dibiarkan hidup bebas. Untuk itu, organisasi, pemimpin, dan masyarakat harus bekerja sama menciptakan budaya kerja yang menghormati integritas, batasan, dan martabat manusia. ***



















