BANTENRAYA.COM – Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menyebut terduga pelaku pelecehan oleh oknum guru di SMA Negeri 4 Kota Serang terhadap sejumlah siswa di sekolah tersebut bisa diancam hukuman berat.
Terduga pelaku pelecehan di SMA Negeri 4 Kota Serang penjara 15 tahun dan diperberat dengan hukuman sepertiga dari hukuman yang ditentukan.
Bahkan, terduga pelaku pelecehan di SMA Negeri 4 Kota Serang itu juga bisa diancam dengan hukuman kebiri karena yang bersangkutan merupakan guru yang seharusnya melindungi siswanya.
Baca Juga: 26 Finalis Teknisi Yamaha Singkirkan 6.000 Pesaing Melaju ke Indonesia Technician Grand Prix
Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten Hendri Gunawan mengatakan, pelaku yang memiliki kuasa terhadap korban yang melakukan pelecehan bisa mendapatkan sanksi yang lebih berat.
Pasalnya, yang seharusnya melindungi siswa malah menjadi pelaku pelecehan seksual. Sesuai dengan undang-undang bahwa pelaku bisa dituntut hukuman penjara 15 tahun.
“Terduga pelaku yang merupakan oknum guru dapat dijerat pidana berat. Berdasarkan Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak dapat dikenakan hukuman pidana maksimal 15 tahun penjara,” kata Hendri, Kamis 20 Juli 2025.
Baca Juga: Pemprov Banten Targetkan 53.367 Hektare Produksi Jagung, Wagub Coba Trik Out of The Box Ini
Selain dapat dijerat hukuman 15 tahun penjara, oknum guru juga dapat diperberat hukumannya dengan sepertiga dari hukuman sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Pelaku bahkan juga bisa diancam dengan hukuman kebiri sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
“Hukuman ini dapat diperberat dengan penambahan sepertiga dari hukuman maksimal kerena pelaku merupakan orang yang memiliki hubungan kuasa atau tanggung jawab terhadap anak, dalam hal ini sebagai guru,” kata Hendri.
Baca Juga: Hasil Semifinal FIFA Club World Cup 2025: PSG Bantai Real Madrid dengan Skor Fantastis
“Sanksi tambahan tersebut juga berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak,” tuturnya.
“Apabila terbukti bahwa pelaku melakukan perbuatan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu siswa/ anak dan dilakukan berulang kali, maka pelaku dapat dijatuhi sanksi tambahan berupa: Kebiri kimia, Pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan Pengumuman identitas pelaku ke publik,” tambah Hendri.
Hendri mengatakan, Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menyampaikan keprihatinan mendalam atas mencuatnya dugaan pelecehan seksual oleh oknum guru di SMA Negeri 4 Kota Serang tersebut.
Apalagi, kasus itu diyakini telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa penanganan tegas oleh sekolah. Bahkan, pihak sekolah menyatakan telah menyelesaikan kasus tersebut dengan cara musyawarah.
Padahal, kekerasan seksual terhadap anak tidak dapat diselesaikan secara mediasi atau damai. Kasus kekerasan seksual semestinya diproses hukum karena merupakan kejahatan yang luar biasa.
Hal ini sesuai dengan Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Undang-undang tersebut menegaskan, perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Pernyataan atau sikap dari pihak sekolah yang menyarankan korban untuk memaafkan dan tidak melaporkan kepada orang tua adalah bentuk pembiaran dan bisa dikategorikan sebagai pengabaian perlindungan terhadap korban dan melanggar Pasal 23 Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Hendri.
Akademisi Universitas Serang Raya (Unsera) ini mengatakan, sekolah wajib berpihak kepada korban, bukan pelaku.
Baca Juga: Lengkap! Jadwal Pertandingan Pekan Pertama Super League 2025/2026, Dimulai Pada 8 Agustus
Selain itu, Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (Tim PPK) yang sudah terbentuk di sekolah juga memiliki kewajiban melindungi, mendampingi, serta memastikan hak-hak korban terpenuhi.
“Jika terbukti terjadi pembiaran atau penutupan informasi, maka pihak sekolah dapat dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UU TPKS,” tuturnya.
“(Aturan itu) menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/ atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,” katanya.
Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten, kata Hendri, berkomitmen penuh mengawal proses hukum secara transparan dan akuntabel serta memberikan pendampingan hukum, psikologis, dan perlindungan terhadap anak-anak yang menjadi korban.
Dia juga mendesak kepolisian, dinas pendidikan, dan instansi terkait untuk bertindak cepat, responsif, dan tidak mentolerir segala bentuk kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Kami juga mengimbau kepada seluruh masyarakat dan alumni untuk tidak takut melapor. Pelaporan adalah bentuk keberanian, bukan pengkhianatan. Mari kita bersama-sama hentikan budaya diam dan tutup mata terhadap kekerasan,” katanya.
“Setiap anak berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah dalam bentuk apapun. Tidak ada tempat bagi pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan,” katanya.
“Dan Kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya pelanggaran moral, tapi kejahatan kemanusiaan. Penanganannya harus setegas dan setajam mungkin. Tidak boleh ada lagi budaya tutup mata dan damai-damaian terhadap kekerasan,” sambungnya. ***