BANTENRAYA.COM – Kebijakan pemerintah terhadap larangan impor baju bekas alias thrifting, tentu mendapatkan penolakan dari para pedagang yang sudah lama menjalankan bisnis tersebut.
Tujuan larangan kebijakan ini, agar industri tekstil kembali bergairah sebab impor baju bekas disinyalir menjadi biang kerok lesunya industri tekstil tanah air.
Pedagang Thrifting di Kota Serang Alysa Irina mengatakan, usaha yang sudah berjalan selama satu tahun ini menjadi pemasukan utama dengan penjualan yang terbilang cukup tinggi.
“Kalau bisa sih jangan sampai yah, karena bingung juga ditengah ekonomi yang sedang turun, dan impor baju ditutup karena permintaan nya juga cukup tinggi,” kata Alysa kepada Bantenraya.com, di Jalan Ciceri, Kota Serang Rabu 5 November 2025.
Menurutnya, penjualan baju impor ini bisa mencapai 500 pics dalam sebulan, didominasi oleh anak-anak muda terutama kalangan perempuan dengan harga mulai dari Rp35 ribu.
BACA JUGA: KLH BPLH Hentikan Impor Besi dan Baja ke Indonesia, Cegah Radiasi Cs-137
Artinya dengan usaha tersebut, pedagang mampu meraup omzet Rp17 juta per bulan.
“Dan memang minatnya tinggi, sehari bisa sampai 20 pengunjung belum lagi saat jualan online atau di momen keramaian seperti CFD. Konsumen juga merasa terbantu dengan hadirnya produk thrifting,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan Admin Trifting Import Anistika Rahayu, ia mengaku penjual rata-rata baju per hari mencapai 5 pics, dan menjadi satu-satunya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan.
“Kalau di tutup kita harus putar otak lagi, harapan sih enggak sampai di tutup impornya, model dan bahan yang bagus jadi alasan konsumen beli,” tutur Ayu.
Mengutip dari laman Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMM Wahyudi menyampaikan, ia setuju dengan kebijakan larangan impor baju bekas, namun perlu ada solusi dan pendekatan lanjutan, lantaran fokus utama kebijakan ini seharusnya mendorong daya saing industri tekstil dalam negeri.
BACA JUGA: Rekomendasi Kementerian LH, Bupati Pandeglang Hentikan Sementara Impor Sampah dari Tangsel
“Konsumen memilih barang bekas impor karena kualitasnya lebih bagus, harganya lebih murah, dan modelnya lebih fashionable. Jadi, industri tekstil lokal harus mampu memenuhi kebutuhan itu juga, bukan hanya melarang,” papar Wahyudi.
Wahyudi juga memberikan beberapa solusi untuk menghadapi kondisi tersebut, yakni dengan melakukam penguatan industri domestik melalui insentif fiskal, seperti pemotongan pajak dan subsidi bagi pengembangan inovasi.
Selanjutnya, pembinaan pelaku usaha thrifting agar dapat beralih ke sektor kreatif, misalnya industri daur ulang tekstil (recycle) atau upcycling.
Dan yang terakhir, penerapan standarisasi impor bertahap, dimulai dari pelarangan produk bekas yang mengandung zat berbahaya atau tidak layak kesehatan. Dengan begitu, kebijakan menjadi lebih terukur dan solutif.
“Industri domestik harus dikuatkan dulu sebelum langsung melarang total,” kata Wahyudi.***



















