BANTENRAYA.COM – Di era digital yang serba cepat, setiap tindakan maupun ucapan pemimpin menjadi sorotan publik.
Ketidaktepatan dalam komunikasi, baik eksternal maupun internal, sering kali memicu krisis kepemimpinan yang dapat merusak reputasi individu dan organisasi.
Oleh karena itu, penting bagi perusahaan dan pemimpin untuk memahami dinamika komunikasi strategis guna mengurangi risiko reputasi dan membangun kepercayaan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Masyarakat Banten Rugi Rp 92,1 Miliar Akibat Maladministrasi
APA ITU KRISIS KEPEMIMPINAN?
Krisis kepemimpinan adalah situasi di mana seorang pemimpin gagal memenuhi harapan publik atau pemangku kepentingan, yang dapat memengaruhi reputasi, kredibilitas, dan stabilitas organisasi.
Krisis ini sering kali dipicu oleh tindakan tidak etis, pernyataan kontroversial, atau ketidakmampuan dalam pengambilan keputusan strategis.
W. Timothy Coombs, dalam Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang digagas pada 1995, menyatakan bahwa respons organisasi terhadap krisis harus disesuaikan dengan persepsi publik tentang tingkat tanggung jawab atas insiden tersebut.
STUDI KASUS: KRISIS KEPEMIMPINAN DI PT BLUE BIRD GROUP
Pada tahun 2016, PT Blue Bird Group menghadapi krisis besar ketika ribuan pengemudi taksinya menggelar demonstrasi masif di Jakarta.
Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Uber dan Grab yang dianggap merugikan.
Demonstrasi ini menyebabkan kemacetan dan kekacauan parah di Jakarta, disertai tindakan anarkis yang memperburuk citra perusahaan.
Baca Juga: Kemiskinan di Banten: Akibat Kebijakan atau Kegagalan Pemerintah?
Demonstrasi tersebut juga menyebabkan kerugian fisik yang signifikan: sedikitnya 150 unit taksi milik PT Blue Bird Tbk rusak akibat aksi tersebut.
Sumber ini dikutip dari laporan CNN Indonesia, “Dampak Demonstrasi, 150 Unit Taksi Blue Bird Rusak,” yang menyoroti besarnya dampak dari krisis ini terhadap aset perusahaan.
Masyarakat juga mengutuk aksi tersebut sebagai gangguan publik, sementara meme menyindir perilaku brutal pengemudi, seperti meme ‘angry bird’, beredar luas, memperburuk citra perusahaan.
Dalam krisis ini, komunikasi perusahaan menjadi sorotan utama. Ketidakmampuan manajemen untuk meredam gejolak internal sebelum mencapai titik kritis mencerminkan lemahnya pendekatan komunikasi internal, sementara reaksi publik memperlihatkan perlunya strategi komunikasi eksternal yang lebih efektif.
Baca Juga: 100 Ribu Pelancong Diproyeksikan Kunjungi Lebak di Momen Nataru
Kasus ini menekankan pentingnya manajemen krisis berbasis data dan pendekatan yang adaptif untuk menghadapi tekanan dari perubahan industri.
ANALISIS DENGAN PENDEKATAN TEORI SITUATIONAL CRISIS COMMUNICATION
Situational Crisis Communication Theory (SCCT), yang dikembangkan oleh Timothy W. Coombs dan Sherry J. Holladay dari Texas A&M University, membagi krisis menjadi tiga klaster: victim, accidental, dan preventable.
Berdasarkan teori ini, krisis yang dihadapi Blue Bird dapat dikategorikan sebagai Preventable Crisis.
Baca Juga: Warga Banten Minta Perbaikan Turap dan Normalisasi Kali Karangantu Secepatnya
Dimana krisis ini terjadi akibat kegagalan internal, yang salah satunya, terindikasi dari kurangnya komunikasi efektif dengan pengemudi dan karyawan, yang berujung pada aksi reaktif dari pengemudi Blue Bird.
STRATEGI RESPONS KRISIS BLUE BIRD
1. Deny (Menyangkal): Blue Bird mengadopsi pendekatan defensif dengan ‘menyangkal’ adanya kesalahan besar dalam kebijakan manajemen yang menyebabkan krisis, meskipun perusahaan tidak mengakui kesalahan secara langsung.
2. Diminish (Mengurangi): Kampanye “Reimagining Blue Bird” difokuskan pada perbaikan dan inovasi sebagai respons terhadap krisis.
Baca Juga: Lika-liku Manusia Badut: Pendapatan Pas-pasan dan Harus Sewa Kostum Setiap Hari
Mereka berusaha menunjukkan bahwa krisis ini adalah hasil dari persaingan yang tidak dapat dihindari, dan bukan karena kegagalan internal perusahaan.
3. Rebuild (Membangun Kembali): Blue Bird berupaya mengembalikan reputasi mereka dengan menekankan pembaruan armada, pengembangan aplikasi, serta peningkatan layanan pelanggan sebagai upaya konkret untuk memperbaiki kekurangan yang ada.
LANGKAH PEMULIHAN
1. Identifikasi Krisis sebagai Krisis Operasional: Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh pengemudi menunjukkan kurangnya komunikasi internal yang efektif.
Ini merupakan indikasi bahwa Blue Bird tidak cukup melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan strategis.
2. Pendekatan Defensif-Reaktif: Dengan mengalihkan fokus pada inovasi dan pengembangan, Blue Bird memilih pendekatan yang lebih defensif dengan memperkenalkan produk dan layanan baru, serta membangun citra perusahaan yang lebih adaptif.
3. Mengubah Atribusi Publik: Dalam kampanye “Reimagining Blue Bird”, perusahaan berfokus pada pengembangan teknologi dan armada baru untuk memperbaiki citra mereka, berusaha memindahkan atribusi krisis kepada faktor eksternal seperti perubahan pasar dan persaingan.
Baca Juga: Bingung Cari Tempat Liburan Akhir Tahun 2025, Berikut Tempat Wisata Alam di Pandeglang
HASIL
Langkah-langkah strategis yang diambil oleh Blue Bird tidak hanya membantu memulihkan reputasi perusahaan, tetapi juga memperkuat posisinya sebagai pemain kompetitif di industri transportasi.
Kepercayaan publik mulai pulih, dan perusahaan berhasil meningkatkan citra sebagai entitas yang adaptif dan proaktif.
Pada 2024, berdasarkan laporan tahunan terbaru, Blue Bird menunjukkan hasil yang signifikan, dengan pendapatan mencapai Rp 5,5 triliun, meningkat 19% dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Pelabuhan Merak Mulai Padat, Jumlah Kendaraan yang Menyeberang Alami Kenaikan 6 Persen
Inovasi seperti penerapan kendaraan listrik dan peningkatan layanan pelanggan telah memberikan dampak positif, menjadikan Blue Bird salah satu penyedia transportasi terkemuka yang mampu bersaing dengan layanan transportasi berbasis aplikasi.
STRATEGI MENGATASI KRISIS KEPEMIMPINAN
1. Transparansi: Berikan informasi jujur kepada publik.
2. Empati: Tunjukkan kepedulian pada pihak terdampak.
3. Akuntabilitas: Akui kesalahan dan ambil tanggung jawab.
4. Langkah konkret: Tunjukkan aksi nyata untuk pemulihan.
5. Komunikasi konsisten: Pastikan pesan mudah dipahami.
Baca Juga: Kesempatan Emas, BRIN Buka Info Magang untuk Mahasiswa Cek Persyaratannya di Sini
KESIMPULAN
Krisis kepemimpinan dapat diatasi dengan komunikasi yang efektif. Transparansi, empati, dan tindakan nyata menjadi kunci utama untuk memulihkan reputasi dan membangun kembali kepercayaan publik.
Kasus PT Blue Bird memberikan pelajaran penting tentang perlunya respons cepat, komunikasi internal yang baik, serta strategi kepemimpinan yang adaptif di era digital.
Dengan pendekatan yang tepat berdasarkan teori SCCT, perusahaan dapat menghadapi krisis dengan lebih baik dan keluar sebagai pemenang.
TENTANG PENULIS
Penulis adalah Ryan Fernando, mahasiswa S2 Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina dengan fokus pada pendalaman Komunikasi Korporat.
Berbekal pengalaman sebagai jurnalis sejak 2012, termasuk bekerja di CNN Indonesia TV, penulis telah meliput berbagai isu strategis, seperti krisis komunikasi perusahaan, dinamika industri media, dan reputasi organisasi.
Motivasi akademik penulis didasarkan pada pengamatan langsung akan pentingnya komunikasi strategis dalam membangun kepercayaan publik dan mengelola risiko reputasi di era digital. ***



















