Oleh : Riswanda
Bantuan pemerintah bergulir, lebih tepatnya santunan, seiring berkecambahnya persoalan migor (Riswanda 2022).
Penetapan cuti lebaran oleh Pemerintah baru saja, seharusnya menjadi nilai empatik tersendiri di tengah himpitan persoalan sosial-ekonomi eksisting.
Sentilan Presiden Joko Widodo terhadap Menteri-Menteri terkait, agar lebih sensitif terhadap perbahasan kesulitan BBM dan Sembako ikut mewarnai ketetapan jelang lebaran. Uraian Sorotan Riswanda (2022) mengenai subsidi upah pegawai atau lebih tepatnya santunan pendapatan tiga juta, mungkin dapat menjadi arsiran tafsir sebuah catatan kebijakan bernilai empatik.
Teguran Presiden terhadap kurangnya penjelasan kebijakan, sebetulnya membuahkan dua kebolehjadian.
Apa saja? Seberapa besar kemungkinan Menteri pada kabinet eksisting memandatkan sebuah respon solusi kebijakan tanpa persetujuan Presiden? Bukankah Dewan Ketahanan Nasional, dikenal dengan Wantannas, seharusnya menyiapkan pemikiran cepat (kirpat) atas isu krusial tertentu untuk menjadi bahan telaahan Presiden? Atau, Kedeputian Stratejik Lembaga Ketahanan Nasional, dikenal dengan Lemhanas, pastinya cukup mumpuni memastikan basis pengambilan keputusan bagi Presiden jika semisal masih dianggap kurang. Belum termasuk peran Kantor Staf Presiden (KSP), penyedia dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam memperhatikan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis Nusantara.
Lalu, kenapa masih ada kebijakan ternilai kurang sensitif dan dikatakan tidak empatik oleh RI 1? Jangan-jangan, kebolehjadian kedua yang terjadi.
Menteri bergerak di luar pengawasan, atau tanpa persetujuan Indonesia Satu? Atau barangkali yang terjadi adalah abai parokial, serupa penjelasan ‘kuliah 4.0’ (Riswanda 2022). Berlalunya kepakaran, mengunakan seloroh Riswanda (2021, 2022) ‘tukang bakso diminta untuk menganalisis bubur, bakso tidak jelas hasilnya, bubur pun sama remangnya’.
Spesialis, ahli atau pakar kelihatannya tidak lagi menjadi sumber rujukan resep antisipasi-solusi keputusan kebijakan. Kenapa boleh jadi dianggap seperti itu?
Pakar pastinya memahami betul literasi, tidak asal bunyi dan lanjut nyerocos, atau berkata terus-menerus dengan lancar dan cepat sehingga orang lain tidak sempat menyela. Menggarisbawahi penguasaan tema kajian, semisal ‘Empathy and emotions in policymaking’ (King’s College London 2022) dapat menjaga wibawa Presiden dari keputusan tergesa dan berbuah drama publik.
Menekuni bagaimana instrumen kebijakan seharusnya memedulikan ukuran emosi dan empati, bukan pekerjaan kebut semalam. Pemahaman konektivitas, keterhubungan antara kebijakan dengan narasi mendalam, dari mereka yang seharusnya terwadahi oleh sebuah produk regulasi adalah literasi ilmiah.
Minus bekal sudut pandang, pendekatan dan nalar kritis kebijakan, niscaya kebijakan publik kembali masuk pada kritik klasik. Alih-alih menjadi solusi atas sebuah masalah publik, malah menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Atau lebih parah lagi menjadi entitas yang justru menimbulkan masalah baru. Perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) plus segala atribut automasi kecanggihan masa kini, tentu bukan lagi alasan hadirnya miskomunikasi antar perumus dan kelompok sasar kebijakan. TIK membuka ruang bagi penyusun cetak biru kebijakan untuk menggunakan kesempatan berinteraksi, dengan lebih interaktif bersama ragam segmen penerima dampak. Bukan sekadar ribuan halaman hasil rumusan dan ditutup bahasa kekuasaan.
Harvard Business Review (2022) menekankan empati sebagai arah navigasi, di periode waktu dimana rimba sumber informasi bisa mudah menciptakan anomie. Put your shoes in other people shoes, lepaskan jaket dan topi sempit keegoan prosedur berbelit, dan coba rasakan apa yang dirasakan oleh calon penerima dampak keputusan kebijakan melalui narasi genuine, narasi asli autentik dan bukan sekadar “katanya”.
Contoh, titik total pemberdayaan level mikro, yaitu kecamatan, kelurahan dan RT/RW patut diperhitungkan. Meskipun, pergerakan masif tidak terarah berbasis uniformitas dan acara debat kusir berkepanjangan tentu bukan harapan ideal pendekatan basis mikro ini.
Diskusi kajian perencanaan yang cakap sepertinya harus menekankan beda antara penjelasan dengan membuat daftar urut poin utama. Paham beda menjelaskan dengan menjabarkan pengertian terminologi tertentu secara definitif.
Mungkin, lembaga-lembaga diklat penyaji menu keahlian mesti mereformasi bentuk pelatihannya dari sekadar mendengarkan pidato monolog berjam-jam, dan kehadiran berbasis paraf tiga kali sehari seperti minum obat dan duduk tegak. Ke arah perubahan pelatihan bertolak ukur kepiawaian berpikir kritis (Riswanda 2022).
Latihannya seperti apa? Untaian normatif berisi penjabaran konsep cuti bersama, katakanlah begitu, perlu lebih didaratkan kepada aspek-aspek antisipasi-solusi program kewilayahan. Bagaimana caranya? Basis kajian riset adalah kunci. Sehingga rumusan perda / perwal untuk nantinya digunakan menjadi basis ‘pengendalian arus mudik peduli bagaimana hidup berdampingan dengan COVID-19’, misal, tidak berbasis asumsi atau lebih miris lagi berbasis googling.
Sederhana, bagaimana merumuskan antisipasi sekaligus solusi arus mudik dan arus balik multi-aspek, ketahanan sosial-kesehatan salah satunya? Pemetaan aktor pemangku kepentingan di wilayah mikro seperti keluarahan tentu saja mendasar. Langkah selanjutnya adalah memastikan keberlanjutan aksi ragam lembaga kemasyarakatan tersebut.
Menghindari pengulangan parade pidato dan lomba debat kusir di mungkin banyak Musrembang dan kegiatan rapat kemasyarakatan lain, alangkah cakap jika diarahkan pada aktivitas penggalangan data seperti FGD.
Jika saja kemudian giat tersebut dipadankan dengan keahlian akademisi yang sebetulnya ahli, dan bukan kolektor pancawarna menu sertifikat pelatihan, maka serius akan menghasilkan terkuaknya akar permasalahan plus solusi pas.
Penulis adalah associate professor analisis kebijakan publik Untirta










