BANTENRAYA.COM – Sejak Reformasi 1998, Indonesia memilih sistem presidensialisme sebagai bentuk pemerintahan yang dinilai paling tepat untuk menjaga stabilitas politik. Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan memiliki masa jabatan tetap.
Secara teori, sistem presidensialisme ini dirancang agar cabang eksekutif dan legislatif beroperasi secara terpisah, saling mengawasi, dan mencegah penguasaan kekuasaan oleh satu partai. Akan tetapi, dalam praktiknya sistem presidensial di Indonesia berlangsung dalam konteks politik yang berbeda, yaitu sistem multi-partai yang sangat beragam.
Gabungan antara presidensialisme dan sistem multi-partai menciptakan fenomena yang dikenal sebagai ‘relevansi presidensial multi partai’, sebuah bentuk ketegangan politik dan kompromi di mana presiden harus terus-menerus bernegosiasi dengan banyak partai untuk menjaga kelangsungan pemerintahannya. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya melihat situasi ini sebagai sebuah paradoks demokrasi Indonesia: di satu sisi, mencerminkan perwakilan politik yang luas, tetapi di sisi lain, menimbulkan ketidakstabilan dan melemahkan akuntabilitas.
BACA JUGA: Pertamina Bidik Laba Bersih Rp 54 Triliun Tahun 2025
Dalam sistem presidensial yang murni, presiden seharusnya tidak perlu bergantung pada dukungan mayoritas di parlemen untuk tetap berkuasa.
Namun, kenyataan politik di Indonesia menunjukkan hal sebaliknya. Presiden hampir selalu membangun koalisi besar lintas partai untuk mengamankan dukungan politik di Dewan Perwakilan Rakyat.
Koalisi ini dianggap penting untuk memperlancar agenda pemerintah, terutama dalam hal persetujuan anggaran dan kebijakan strategis nasional.
Sayangnya, praktik koalisi besar sering kali mengarah pada politik akomodasi kekuasaan. Banyak partai bergabung bukan karena ideologi yang sama atau visi nasional, melainkan untuk mendapatkan akses ke posisi menteri, posisi strategis, atau sumber daya ekonomi.
Akibatnya, oposisi menjadi sangat lemah. Parlemen, yang seharusnya berfungsi sebagai badan pengawas, kehilangan kekuatan kritisnya karena sebagian besar partai telah menjadi bagian dari pemerintah.
Dalam keadaan seperti ini, sistem presidensial yang seharusnya kuat terperangkap dalam ketergantungan pada kekuatan partai.
Presiden kehilangan kebebasan untuk membuat keputusan kebijakan secara mandiri karena harus mempertimbangkan kepentingan koalisi.
Fenomena ini menimbulkan apa yang disebut sebagai stabilitas semu, pemerintah terlihat stabil karena sedikitnya konflik politik yang terbuka, tetapi sebenarnya sangat rapuh karena didasarkan pada kompromi pragmatis.
Sebagai seorang mahasiswa yang mempelajari sistem pemerintahan, saya memahami bahwa demokrasi memerlukan kompromi. Namun, ketika kompromi berubah menjadi transaksi, nilai-nilai demokratis menjadi terdegradasi. Sistem presidensial multi-partai di Indonesia seringkali berubah menjadi arena tawar-menawar politik yang sengit. Jabatan publik menjadi alat tawar, yang tidak didasarkan pada kompetensi atau profesionalisme, tetapi pada kesetiaan kepada partai koalisi.
Dampak dari praktik ini sangat nyata. Pertama, kualitas kebijakan publik menurun karena banyak keputusan yang diambil berdasarkan kepentingan politik jangka pendek. Kedua, penerapan prinsip tata kelola yang baik menjadi sulit dilakukan karena proses politik dipenuhi dengan negosiasi tertutup dan pertukaran kepentingan yang tidak transparan. Ketiga, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah menurun karena rakyat merasa bahwa aspirasi mereka tidak lagi menjadi prioritas utama.
Sebagai mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Pemerintahan, saya meyakini bahwa situasi ini bukan sekadar masalah politik teknis, melainkan sebuah permasalahan institusional yang mendasar. Regenerasi partai yang lemah, disiplin ideologis yang rendah, dan budaya patronase politik telah menciptakan struktur politik yang sulit untuk dikendalikan melalui mekanisme demokrasi formal. Sebagai hasilnya, sistem presidensial kita tetap menghadapi tekanan akibat perpecahan politik yang tidak produktif.
Untuk dapat memperkuat sistem presidensial di tengah realitas sistem multi partai, Indonesia memerlukan langkah-langkah reformasi yang lebih tegas. Pertama, sistem partai perlu direorganisasi dengan serius. Jumlah partai yang berlebihan menyebabkan proses politik menjadi tidak efisien. Ambang batas parlemen harus dinaikkan secara bertahap agar hanya partai-partai yang memiliki basis dukungan yang kuat yang dapat memasuki Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, sistem koalisi akan menjadi lebih sederhana dan stabilitas politik akan lebih mudah dipertahankan tanpa mengorbankan fungsi oposisi.
Kedua, lembaga-lembaga oposisi perlu diperkuat. Demokrasi tidak dapat berkembang tanpa adanya oposisi yang kritis dan membangun. Oposisi bukanlah musuh pemerintah, melainkan mitra dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Pemerintah yang tidak memiliki oposisi berisiko tinggi untuk melakukan kesalahan tanpa adanya perbaikan. Oleh karena itu, regulasi politik harus memberikan ruang dan insentif bagi partai-partai yang memilih untuk tidak bergabung dengan pemerintahan, misalnya melalui akses terhadap informasi kebijakan, alokasi anggaran pengawasan, atau ruang publik yang lebih luas.
Ketiga, transparansi dalam pembentukan koalisi dan penunjukan pejabat publik harus menjadi prinsip utama. Masyarakat berhak untuk mengetahui pertimbangan politik di balik setiap keputusan strategis, termasuk alasan mengapa partai tertentu bergabung dengan pemerintah. Transparansi dalam politik sangat penting agar masyarakat tidak memandang proses pemerintahan sebagai hasil dari transaksi kekuasaan, melainkan sebagai bentuk pemerintahan yang jujur dan dapat dipercaya. Dengan demikian, sistem kepresidenan Indonesia akan mendapatkan legitimasi dan dukungan yang kuat dari rakyat.
Selain itu, pendidikan politik untuk masyarakat perlu ditingkatkan agar warga dapat memahami mekanisme pemerintahan dengan lebih rasional. Partisipasi publik yang cerdas akan menjadi penyeimbang terhadap praktik kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, kualitas demokrasi ditentukan tidak hanya oleh para pelaku politik di tingkat atas, tetapi juga oleh kesadaran warga di tingkat bawah.
Sistem presidensial bukanlah sistem yang cacat. Masalah terletak pada cara kita mengelola sistem dalam konteks politik yang kompleks. Jika partai politik dapat menjalankan fungsi perwakilan dan rekrutmen politik dengan baik, maka sistem multi-partai tidak akan menjadi beban bagi presidensialisme. Sebaliknya, hal ini akan memperkaya demokrasi dengan beragam pandangan dan solusi kebijakan.
Namun, jika partai politik bertindak hanya sebagai alat untuk perebutan kekuasaan tanpa dasar ideologis, maka sistem kepresidenan akan menjadi panggung bagi politik transaksional semata. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat tidak akan lagi melihat pemerintah sebagai pelayan publik, melainkan sekadar sebagai tempat untuk kompromi elit.
Saya percaya bahwa demokrasi yang matang tidak lahir dari sistem yang sempurna, melainkan dari keinginan untuk terus memperbaikinya. Kebangkitan presidensialisme multipartai di Indonesia merupakan fase penting dalam perjalanan penguatan demokrasi kita. Ini menantang kita untuk berpikir lebih mendalam, apakah kita ingin mempertahankan stabilitas yang tidak nyata dengan mengorbankan kualitas demokrasi, atau berani memperkuat sistem dengan memperbaiki kelemahan struktural yang ada?
Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya meyakini bahwa jawabannya sudah jelas. Sebuah demokrasi yang sehat membutuhkan keberanian untuk melakukan perubahan. Kita memerlukan suatu sistem politik yang tidak hanya stabil secara formal, tetapi juga adil, transparan, dan berfokus pada kepentingan masyarakat. Hanya dengan demikian, sistem presidensial multipartai di Indonesia tidak akan lagi menjadi sumber ketegangan dan akan mulai berfungsi sebagai dasar untuk pemerintahan yang benar-benar demokratis. ***
















