BANTENRAYA.COM – Di balik kenyal dan segarnya kolang-kaling yang kita gigit, ada proses panjang yang melelahkan hingga buah itu bisa menjadi salah satu kudapatan wajib saat berbuka puasa.
Seperti pengakuan salah satu pengrajin di Kampung Kebon Kalapa, Desa Sukadaya, Kecamatan Cikulur, Kabupaten Lebak, Juned.
Ia dan keluarganya harus menyisihkan waktu berjam-jam agar buah itu mudah kita olah. Waktu yang ia sisihkan bahkan bisa sampai seharian jika ditambahkan dengan proses pemanenan.
Usaha musiman yang menjanjikan itu Juned jalankan di rumahnya yang sederhana, biasanya ia mulai sepekan jelang Ramadan.
Juned menceritakan betapa sulitnya ia mengolah kolang-kaling sebelum akhirnya bisa sampai ke tangan pembeli. Awalnya, tentu ia harus memanen buah kolang-kaling dari pohon aren.
Selama proses itu, iya dibantu sang anak. Tak serampangan, buah yang dipanen juga harus sudah berwarna hijau kekuningan. Warna itu menandakan bahwa buah di dalamnya sudah layak untuk di konsumsi.
Baca Juga: BJB Pandeglang dan Porwan Komit Dorong Pengembangan UMKM
Untuk memudahkan panen, ia menggunakan bantuan tangga sederhana berupa satu batang bambu tua yang ia lubangi dan ditambahkan injakan kaki secara menyilang.
“Kalau biasanya pohon aren kita ambil niranya untuk gula aren, sekarang buahnya. Jelas kalau ngambil buahnya bahaya, tapi Alhamdulillah belum pernah ada kejadian. Paling badan lecet biasanya, paling parah sih bagian tangan,” kata Juned pada Minggu 23 Februari 2025 sambil menunjukkan tangannya yang memar memerah dan sedikit lecet. Hal itu wajar, karena aren atau kolang-kaling berbuah tandan.
Juned mengaku, ia menjalankan usaha tersebut bukan sekedar ikut-ikutan, namun sudah belasan tahun selama Ramadan ia disibukkan mengolah kolang-kaling tersebut.
Baca Juga: Gaspol Realisasi Janji Politik, Fajar Hadi Prabowo Fokus Kerjakan 3 Bidang Pembangunan
“Tahun pastinya lupa, tapi ya sudah lama banget. Ada kali belasan tahun, dari anak-anak masih pada kecil juga,” terangnya.
Belum selesai, Juned kemudian mengumpulkan buah tersebut di rumahnya. Setelahnya, buah kolang-kaling harus direbus selama 2 jam untuk menghilangkan getahnya. Diproses ini, Juned dibantu oleh sang istri.
Mereka berbagi tugas, Juned memisahkan buah dari tangkai dan istri memastikan api tetap membara. Lamanya pengalaman Juned dan sang istri mengolah kolang-kaling di proses ini terbuktikan.
Baca Juga: LPPM Untirta Mengunjungi KBRI Bangkok, Buka Peluang Lakukan KKM di Sekolah Indonesia Bangkok.
Meski kepulan asap sering menyengat mata, mereka terlihat biasa saja. Sesekali istri Juned juga meniup bara dengan bantuan semprong bambu dengan nafasnya yang panjang.
“Harus ditiup terus apinya biar ga mati. Nah perebusan ini biar getahnya hilang semua. Namanya kerjaan begini, harus kuat-kuat saja mata kena asap. Kalau saya atau istri mungkin sudah biasa. Perih sih, tapi ya ditahan,” jelas Juned.
Setelah dua jam, Juned mengangkat buah kolang-kaling, lalu ia tiriskan. Kini, kulit pada buah tersebut sudah terlihat sedikit lebih layu.
Baca Juga: Hendak Balap Liar, 57 Remaja di Pandeglang Diamankan Polisi
Buah-buah yang sudah ditiriskan kemudian dibelah untuk mengambil bagian dalamnya yang berwarna putih. Kemudian dipipihkan dengan cara ditumbuk.
Pada proses mencungkil buah dari kulitnya, Juned terlihat sangat lihai. Dengan pisau kecil ia menusuk bagian pangkal buah bagian dalam yang menempel pada kulit.
Tak butuh waktu lama, buah kolang-kaling berwarna putih sudah memenuhi satu keranjang berukuran sedang yang sebelumnya ia siapkan.
Baca Juga: Universitas dari Filipina Kunjungi Uniba, Kolaborasi Tingkat Internasional untuk Tridharma
Sambil mengangkat keranjang berisi kolang-kaling itu, ia kemudian menjelaskan bahwa ia akan merendam buah kolang-kaling yang sudah terpisah dengan kulitnya selama dua jam.
“Direndam biar buahnya bersih dan juga kenyal. Memang prosesnya cukup lama, kalau dari panen bahkan bisa seharian. Tapi memang kalau kolang-kaling bisa bertahan lama,” tuturnya.
Juned mengaku bisa meraup omzet hingga lebih dari dari Rp2 juta selama 5 hari ia memproduksi. Omzetnya itu bahkan diprediksi naik ketika mulai memasuki bulan Ramadan.
Baca Juga: Diberhentikan Sepihak, Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa di Banten Ngadu ke Ombudsman
“Saya jual Rp12 ribu perliter. Lumayan lah buat ganti pakaian anak dan kebutuhan lainnya. Sudah sekitar 5 harianlah. Kalau saya sendiri jualnya keliling kampung, tapi kadang dijual juga ke luar kota. Rata-rata sehari bisa 40 liter kita jual,” jelasnya.
Meski dengan kemasan seadanya, kolang-kaling tak pernah kehabisan peminat. Usaha musiman itu mampu memberikan keberkahan bagi Juned dan keluarganya.
Juned sendiri bukan satu-satunya keluarga pengrajin kolang-kaling di kampungnya. Namun ia percaya, rejeki tidak akan tertukar apalagi berkurang selama masih mau berusaha.
Baca Juga: Lindungi Badak Jawa dari Pemburu Liar, TNUK Tutup Akses Sungai Semenanjung
Apa yang disampaikan Juned langsung dibuktikan. Istrinya mengambil sedikit kolang-kaling yang siap dikonsumsi lalu ia rebus.
Kolang-kaling itu rupanya ia ingin gunakan untuk campuran kolak, hidangan manis yang biasa disuguhkan saat berbuka puasa. Tak butuh waktu lama, kolak buatan istri Juned matang.
“Sok dimakan, panas-panas juga enak. Kalau nunggu dingin sih ya lebih enak. Tapi lama,” Juned menyodorkan kolak buatan istrinya dengan mangkuk kecil kepada wartawan.***