BANTENRAYA.COM – Kasus Pertamax oplosan yang berupa BBM RON 90 atau Pertalite dijadikan BBM Ron 92 alias Pertamax menyeret 7 tersangka, termasuk sejumlah direktur utama dan jajaran direksi PT Pertamina Patra Niaga.
Tidak hanya itu saja, sejumlah perusahaan swasta atau pihak ketiga juga terseret didalmnya.
Salah satunya bos dari PT Orbit Terminal Merak atau PT OTM di Kelurahan Lebak Gede, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon.
Di mana, Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak inisial GRJ terseret didalamnya dalam kasus proses tender dan manipulasi harga impor untuk minyak mentah jenis Ron 90 dan Ron 92 yang dioplos.
Dalam rilis remsi dari Kejaksaan Agung, GRJ berperan dalam pengaturan tender bersama beberapa tersangka lainnya.
Baca Juga: Robinsar Bagikan Kebersamaan dengan Kepala Daerah Se-Provinsi Banten di Retret Magelang
GRJ juga memiliki peran melobi untuk mendapatkan harga tertinggi pembelian minyak tersebut.
Diketahui berdasarkan rilis resmi Kejagung menetapkan 7 tersangka dalam kasus tersebut.
7 orang itu yakni Direktur Utama PT Pertamina Petra Niaga RS, Direktur Feedstock and Product Optimalization PT Kilang Pertaminan Internasional SDS, Direktur Utama PT Pertaminan International Shipping YF, Voice President Feedatock Management PT Kilang Pertaminan Internasional AP, Benefical Owner PT Navigator Khatulistiwa MKAR, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa DW dan Komisarit PT Jenggala Maritim serta Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak GRJ.
Kepala Pusat Penanganan Hukum Kejagung Harli Siregar menjelaskan, terangka GRJ merubakan broker yang melobi penyelenggara negara para direksi Pertamina untuk mengatur soal tender.
“Para tersangka GRJ dan MK dan DW melakukan pemufakatan jahat dengan penyelenggara negara dengan Terangka SDS, AP, RS dan YF. Dimana dalam pengadaan impor minyak mentah sebelum tender sudah mengatur kesepakatan harga yang dengan tujuan mendapatkan keuntungan melawan hukum dan merugikan negara,” katanya dalam rilis resmi.
Untuk kerugian negara sendiri, jelas Harli, perbuatan melawan hukum tersebut mengakibatkan kerugian negara skitar Rp193,7 triliun.
“Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 trilitun, kerugian impor minyak mentah melalui broker Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi di 2023 sebesar Rp126 triliun dan kerugian pemberian subsidi di 2023 sebesat Rp21 triliun,” pungkasnya.***