BANTENRAYA.COM – Vape atau rokok elektronik sudah banyak menyebar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Produk liquid vape memiliki banyak rasa yang lebih beragam daripada rokok tradisional.
Selain itu, dampak dari pengaruh vape juga dilansir tidak separah rokok tradisional.
Hal tersebut menyebabkan vape diminati oleh berbagai kalangan sebagai pilihan alternatif untuk mengganti rokok.
Stigma vape lebih baik daripada rokok beredar di kalangan gen z. Sehingga hal tersebut membuat vape tidak hanya banyak diminati laki-laki, tapi juga perempuan dan anak-anak.
Namun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak sepakat dengan stigma tersebut.
Baca Juga: Disambangi Capres Nomor Urut 1, Warga Pontianak Namai Kampungnya Kampung Anies
Dilansir bantenraya.com dari salah satu postingan akun Instagram @frix.id, WHO mendesak seluruh negara untuk dapat menyamai vape dengan rokok tradisional.
WHO menyatakan “langkah-langkah mendesak” diperlukan untuk mengendalikan pemakaian rokok elektrik atau vape.
Seluruh negara diharapkan dapat melarang semua produk vape beraroma atau perasa atau menyamainya dengan produk rokok biasa.
Hal tersebut dikarenakan beberapa peneliti, aktivis, dan pemerintah yang telah melihat vape sebagai alat utama dalam mengurangi kematian dan penyakit yang disebabkan oleh rokok konvensional.
Informasi tersebut mendapat banyak komentar dari warganet. Namun tidak sedikit komentar yang berkata kalau mereka membaca informasi tersebut sambing ngevape.
“Gua yang baca ini sambil ngevape,” kata @andriwwp_.
Baca Juga: Duel Derbi London Terjadi di Emirates Kala Arsenal Kedatangan Sang Tamunya, West Ham United!
“Baca ini sambil megang m200,” kata @hendrikadty_.
“Gua baca ini sambil ngevaping oxva oneo,” kata @hafidzfachmy.
WHO menegaskan hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa vaping membantu perokok berhenti dan vape dapat mendorong kecanduan nikotin pada non-perokok, terutama anak-anak dan remaja.
Seperti diketahui vape juga mengandung nikotin, yaitu zat yang memicu kecanduan.
Ditambah lagi, tidak sedikit kasus pengguna vape yang terkena penyakit paru-paru sampai menyebabkan kematian.
Di Amerika, berdasarkan data yang dilansir bantenraya.com dari cdc.gov, pada Februari 2020 telah tercatat 2.807 kasus kerusakan paru-paru akibat vape, dan dari kasus tersebut 68 berujung kematian.
Hal tersebut tentunya cukup menguatkan keputusan WHO yang mendesak seluruh negara untuk menyamai vape dengan rokok tradisional.
Karena mungkin tidak perlu ada ukuran angka kematian minimal untuk bisa menyimpulkan kalau vape sama berbahayanya seperti rokok biasa. Terlebih lagi jika produk ini marak dikonsumsi remaja, termasuk yang wanita.
Jika Indonesia mengikuti anjuran dari WHO tersebut, maka tidak lama lagi pemasaran produk vape mungkin akan memasang slogan “vaping membuhunmu”.* * *



















