BANTENRAYA.COM – Nama Dahlan Iskan sangat lekat dengan wartawan Indonesia.
Dahlan Iskan adalah pebisnis sukses dalam bidang media massa sekaligus sosok wartawan yang produktif dan meruapakan mantan Menteri BUMN.
Hingga usianya yang kini sudah menginjak 70 tahun Pak Dahlan masih prdouktif menulis lewat jaringan Disway.
Koran Jawa Pos yang pernah mendunia jadi bukti betapa hebatnya Dahlan Iskan memenej perusahaan. Menyajikan berita yang terasa dekat dengan pembaca, ciri khas Dahlan Iskan.
Baca Juga: Fiersa Besari Bagikan Alasan Aya Canina Ku Kira Kau Rumah Keluar dari Amigdala : Menyakitkan
Di momen Hari Pers Nasional 2022, bantenraya.com menyimak wawancara Dahlan Iskan dengan pemred kompas.com yang diunggah lewat kanal kompas.com berjudul Kehilangan Jawa Pos, dan Sakit Hati Pemberi Energi yang diunggah pada 7 Februari 2022.
Dalam wawancara ini, Dahlan Iskan menyatakan ia bukan orang yang menemukan Jawa Pos.
“Saya tidak menemukan (Jawa Pos). Itu koran tua yang (saat saya gabung di Jawa Pos) sudah 49 berdiri (Koran Jawa Pos didirikan Chung Shen sejak 1949 silam). Sangat tua di Indonesia. Pendirinya seorang pengusaha yang ada kaitannya dengan Bioskop,” kata Dahlan Iskan.
Diceritakan Dahlan Iskan, dia (pendiri Jawa Pos) itu tukang kirim film ke bioskop dan sering pasang iklan film yang akan tayang dibioskop.
Baca Juga: Lirik Lagu Devia Karya Virzha, Nama Tersebut Selalu Terngiang-ngiang
“Namnya The Chung Shen, ini orang Surabaya kemudian nikah dengan orang Manado dan dua orang ini yang mendirikan Jawa Pos. Ketika ada peristiwa orde lama (Jawa Pos) berafiliasi ke AL (Angkatan Laut),” Dahlan bercerita.
Diceritakan Dahlan, The Chung Shen punya tiga anak dan semuanya tinggal di London. Dua diantaranya pernah dicoba ngurusi perusahaan korannya namun tida berhasil.
“Saat usia 93 tahun The Chung Shen menjual perusahaannya tahun 1982 ke Pak Eric Samola, Direktur Utama PT PT Grafiti Press (penerbit majalah Tempo).”
Ditahn 1982, Dahlan Iskan masih berstatus wartawan Tempo.
“Saya tidak menekukan Jawas Pos dan saya hanya diminta memimpin (Jawa Pos) pada tahun 1982 saat usia saya 31 tahun sebagai kepala biro,” tegasnya.
Di awal-awal jadi kepala biro, oplah Jawa Pos kata Dahlan Iskan cetaknya sedikit berisi 8 halaman, dan mesin cetak hanya satu.
Baca Juga: Doa yang Dibaca Rasulullah Ketika Sujud Terakhir kata Syekh Ali Jaber
“Ketika saya jadi wartawan Tempo di Surabaya, saya memang tiap pagi selalu baca koran di pagi hari saya suka baca Jawa Pos, Kompas, Surabaya Pos. Pas baca Jawa Pos (sebelum akhirnya ditakdirkan memimpin Jawa Pos) saya selalu marah kok beritanya gini-gini terus termasuk Surabaya Pos, kok gitu-gitu saja. (Pernah suatu pagi mikir) kalau saya di Jawa Pos saya akan begini-begini, “ terang Dahlan Iskan.
Berdasarkan analisa Dahlan Iskan kala itu, di Jawa Pos tidak pernah ada berita itu yang dicari oleh wartawan.
“Terus gimana fungsi wartawan? Yang jadi berita itu kan peristiwa, konferensi pers dan sebagainya,” kata Dahlan Iskan.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Sudah Datangi Desa Wadas, Bertemu Dengan Warga yang Setuju
Perubahan Jawa Pos
Tidak butuh lama, Jawa Pos ditangan Dahlan Iskan mulai melakukan perubahan total. Dahlan mengusung konsep memuat berita yang dibutuhkan dan dicari serta dekat dengan kondisi masyarakat sekitar.
Ia mencontohkan kalau ada sepak bola harus ada berita pra pertandingan selain hasil pertandingannya.
Selain itu, Dahlan juga menanamkan doktrin kepada wartawan agar jangan melakukan kegiatan yang sudah dilakukan orang lain.
“Kita tidak mungkin bangkit ketika kita hanya melakukan apa yang sudah orang lain lakukan,” cetus Dahlan.
Merubah wajah dan pemberitaan di Jawa Pos bukan tanpa kendala. Dahlan Iskan mengaku punya hambatan dilevel wartawan dan redaktur dengan pemikiran tua.
Baca Juga: Addi MS Kagum Dengan Pengamen yang Bermain Biola, Siapa Dia?
“Tapi saya rasa, saya datang dari media yang reputasinya bagus dan mereka akhirnya menerima.”
Menurut Dahlan Iskan, tiga buan pertama di Jawa Pos sangat sulit menjual Jawa Pos.
Bahkan koran Jawa Pos oleh agen dan pengecer dianggap hanya bikin sumpek lapak saja.
“Saya kumpulkan istri-istri wartawan dan redaktur. Saya bilang suami ibu-ibu ini kan kerja di perusahaan ini. Bagaimana ibu-ibu kalau jualan koran atau jadi agen. Besok saya kirim 100 eksemplar edarakan ke tetangga-tetangga terdekat. Senin sampai Kamis diantar, Jumat tidak diantar karena saya ingin cek bagaimana respon pembaca,” bebernya.
Saat pengiriman koran distop pada hari Jumat kata Dahlan ternyata banyak yang telepon dan warga tanya kenapa tidak dikirim lagi.
“Kepada pembaca yang kangen Jawa Pos saya katakan akan dikirim kalau langganan. Dan ini berhasil,” jelasnya.
Momen lain yang membuat Jawa Pos booming adalah saat menyoroti Persebaya.
”Persebaya yang tidak maju dan digebukin terus karena prestasinya tidak naik,” kata Dahlan Iskan.
Waktu itu Dahlan menyatakan berkunjung ke Inggris dengan tujuan belajar ke klub Liga Inggris, Chelsea. Seketika kata Dahlan pikirannya berubah, Persebaya jangan digebukin terus namun harus dipoles dan diangkat.
“Saya bikinkan jersey Persebaya dan ngundang artis Ita Purnamasari dan kta branding dengan atribut Persebaya. Orang jadi bangga akan Persebaya. Menjadikan pahlawan Persebaya di koran sangat efektif,” Dahlan mengenang.
Setelah menjadikan Persebaya jadi pahlawan dengan tag line green force, oplah Jawa Pos naik dar 20 ribu menjadi 60 ribu eksemplar dan wartawan makin semangat.
Tahap berikutnya yang membuat Jawa Pos semakin dicari pembaca adalah Piala Dunia. Kala itu kata Dahlan, Jawa Pos memberikan hasil Piala Dunia di pagi hari sementara siaran langsung masih jarang bisa dinikmati masyarakat kecuali yang pakai parabola.
Baca Juga: Ganjar Pranowo Sudah Datangi Desa Wadas, Bertemu Dengan Warga yang Setuju
“Saya nonton siaran langsung Piala Dunia di teman saya yang punya parabola. Saya tuangkan dalam berita yang langsung tayang. Ini momentum yang saya dapat waktu itu. Gara-gara piala dunia oplah naik menjadi 120 ribu eksemplar,” katanya.
Beberapa momen yang juga menaikan oplah Jawa Pos adalah saat mengangkat berita tentang Ferdinand Marcos (Presiden Filipina). Kemudian saat perang teluk dimana Jawa Pos ambil posisi mendukung Irak.
“Waktu itu saya mengembangkan jurnalisme emosi. Kita tahu dalam teori berita itu ada proximity (kedekatan). Kedekatan tidak boleh diukur tempat. Misal berita Arab harus dijadikan prioritas, agar emosinya masuk. Kemudian Tiongkok kami kasih porsi karena banyak mayarakat Tionghoa di Indonesia,” bebernya.
“Sakit hati itu mempunyai peran yang penting untuk membuat orang maju”
Baca Juga: Segera Klaim! Kode Redeem FF Free Fire Terbaru 10 Februari 2022, Dapatkan Skin dan Diamond Gratis
Menggebuki Surabaya
Koran Jawa Pos di awal berdiri kerap menyoroti Kota Surabaya bahkan mengkrtik habis-habisan. Namun konsep ini menurut Dahlan diubah karena katanya menggebuki Kota Surabaya terus tidak akan lebih baik tapi teorinya dibalik menjadikan Kota Surabaya sebagai hero (pahlawan).
“Jawa Pos terlibat dalam mengherokan Kota Surabaya, kita ikut terlibat didalamnya termasuk menjadikan Bu Risma (Rimsa Trismaharani) lebih baik,” tegasnya.
Tidak Lagi di Jawa Pos
Kini Dahlan Iskan sudah tidak lagi di Jawa Pos. Dalam wawancara ini Dahlan enggan bicara soal ini karena menurutnya di Jawa Pos banyak guru dan seniornya.
“Saya sudah tidak disana (Jawa Pos) saya sedih pasti. Tapi saya mudah moveon, saya tidak pernah sampai nangis atau sampai berpikir mau gantung diri gara-gara kehilangan sesuatu.”
Baca Juga: Usai Tekuk Lutut Brentford, Manchester City Semakin Kokoh di Puncak Klasemen Liga Inggris
Dahlan Iskan Prihatin dengan Wartawan
Saat ini perkembangan teknologi informasi berdampak pada media mindstream khususnya koran.
Soal ini Dahlan Iskan dalam wawancara ini menyatakan bahawa akibat medos membuat jurnalis hancur-hancuran.
“Medsos menangnya hanya dikecepatan. Hasil riset, kepercayaan terhadap media terus turun. Sangat memprihatinkan,” katanya.
Semangat Dahlan Iskan untuk meproteksi wartawan berbasis cetak masih tinggi.
Ini dibuktikannya dengan memunculkan ide wartawan yang serius di media cetak ditempatkan di kasta yang paling tinggi.
Baca Juga: Doa yang Dibaca Rasulullah Ketika Sujud Terakhir kata Syekh Ali Jaber
“Sehingga (pubik) akhirnya sadar ini lho yang sebenarnya. Karena di koran itu ada cek ricek, editing. Kualitas jurnalisme harus dipertahankan sehingga kita bisa merebut kepercayaan masyarakat lagi,” bebernya.
Kalau wartawan berbasis media cetak tidak bisa melakukan upaya menaikan kasta dan menyerah pada keadaan maka kata Dahlan Iskan tunggu saja titik kematiannya atau tipping point.
“Kita tunggu saja kehancurannya kemudian membangun lagi”. ***