Lebih lanjut Umar menekankan, kebijakan ketenagakerjaan harus berjalan inklusif, termasuk bagi penyandang disabilitas.
Kewajiban kuota tenaga kerja disabilitas di perusahaan dinilai selaras dengan nilai kemanusiaan dan prinsip non-diskriminasi.
“Tapi kami dari Fraksi PKB tetap memberikan sejumlah catatan kritis agar Raperda ini tidak sekadar menjadi regulasi di atas kertas,” tuturnya.
“Di antara catatan tersebut adalah penguatan sistem pengawasan, peningkatan koordinasi lintas sektor, serta perluasan akses pelatihan gratis bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” jelasnya.
Umar juga menilai, perlu adanya mekanisme pengaduan yang jelas dan mudah untuk diakses bagi para pekerja.
Hal ini, kata dia, termasuk kepada perlindungan bagi pekerja rentan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran ketenagakerjaan.
Ia berharap, adanya Raperda tersebut dapat melahirkan ekosistem ketenagakerjaan yang berkeadilan dan mampu menjawab tantangan riil yang dihadapi masyarakat Banten saat ini.
“Raperda ini harus menjadi instrumen nyata untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja, memperluas lapangan pekerjaan, dan memastikan perlindungan yang menyeluruh bagi seluruh pekerja di Banten,” tegasnya.
Diketahui, sebelumnya Komisi V DPRD Provinsi Banten mengusulkan Perubahan atas Perda Nomor 4 tahun 2016 tentang Penyelenggaran Ketenagakerjaan dalam rapat paripurna yang diselenggarakan pada Kamis, 27 November 2025 lalu.
Saat ini, proses pengusulan raperda tersebut masih terus berjalan di tahapan pemberian jawaban atas usul dan masukan dari fraksi-fraksi terhadap usul Komisi V DPRD Banten. ***

















