BANTENRAYA.COM – Sejak usia 25 tahun, Juarta (55) menekuni usaha kecil-kecilannya sebagai pembuat gula aren.
Selama lebih dari 30 tahun, 7 anggota keluarga Juarta hidup dari usaha gula arennya.
Pagi sekali, pukul 06.00 WIB Juarta sudah berada di atas pohon aren untuk mengambil satu lodong (penampung nira dari gelondongan bambu) nira yang berisi 7-12 liter.
Baca Juga: Sebabkan Penyakit Kulit dan Gangguan Pernafasan, Ibu-ibu di Cikande Demo Perusahaan Bata Ringan
Juarta sendiri merupakan salah satu dari banyaknya pengrajin gula aren di Kampung Cimenga, Desa Cimenga Kecamatan Cijaku, Kabupaten Lebak.
Gula aren milik Juarta sendiri benar-benar diproduksi secara tradisional. Setelah nira ia dapatkan, Juarta memanaskan di atas tungku.
Butuh sekitar 5 jam hingga nira tersebut mendidih kental dan bisa dicetak menjadi gula aren.
Baca Juga: Dinkop-UKM Cilegon Dorong Pengrajin Batik Dapatkan Hak Merek Hingga Marketplace Digital
Namun, bukan hal yang mudah bagi Juarta untuk bisa mengumpulkan nira dari pohon aren miliknya. Butuh waktu 12 jam nira tersebut menetes ke dalam lodong dan tertampung hingga 7 liter.
“Jadi Niranya itu dikumpulin dulu di lodong. Nah, biasanya tuh pagi udah bisa diambil. Nah pas pagi diambil, kita tampung lagi, terus jam 4 sore bisa diambil lagi. Yang sore kita tampung buat nanti diambil pagi,” kata Juarta menggunakan bahasa Sunda, Kamis, 3 Oktober 2024.
Di tengah kebulan asap, Juarta dengan sabar terus mengaduk nira yang sedang dipanaskan di atas sebuah wajan. Telapak tangannya yang kasar dengan urat yang menonjol, benar-benar menunjukan bahwa kegiatan itu ia lakukan sudah selama 30 tahun.
Baca Juga: Nol Kasus Rabies Selama 14 Tahun, Provinsi Banten Raih Penghargaan dari Kementerian Pertanian
Bahkan, kerap kali didihan nira yang sedang ia aduk terciprat ke tangannya. Meski begitu, Juarta mengaku tak pernah mengeluh. Baginya, mengeluhkan hal yang membuat ia dan 6 anggota keluarga lainnya hidup merupakan bukan sesuatu yang sopan.
“Anak saya 5 lima, terus saya dan istri saya ya hidup dari jualan gula aren. 30 tahun kerja begini saya tidak pernah ngeluh. Bersyukur aja, Alhamdulillah,” ucap Juarta lagi sembari sibuk mengaduk niranya.
Setelah 5 jam, niranya siap untuk dicetak menjadi sebuah gula aren. 7 liter nira yang sebelumnya ia panaskan bisa menghasilkan sekitar 18 butir gula aren. Keesokan harinya, gula aren tersebut ia jual seharga Rp 10 ribu perbutir ke pengepul. Atau sesekali ia mendatangi langsung si pengepul.
Baca Juga: 600 Nisan Makam Acak-acakan, Pembangunan Waduk Karian Masih Menyisakan Masalah
“Harga ya relatif sama dari dulu. Terus gak pernah ada kendala sih, waktu covid juga sama. Ya uang itu digunakan buat beli beras atau lauk. Apalagi dulu anak-anak masih sekolah. Sampai lulus ya karena aren,” tuturnya.
Meski usahanya masih bersekala kecil, Juarta mengungkapkan bahwa dirinya beberapa kali mendapatkan pesanan dari luar negeri. Tidak banyak memang, tapi setidaknya hal tersebut membuktikan bahwa produk miliknya berkualitas dan digemari di pasar mancanegara.
Untuk keluar negeri, gula yang ia jual bukan gula batok, melainkan gula aren kristal.
Baca Juga: Meriahkan Hari Jadi Kabupaten Serang ke-498, Disporapar Bakal Gelar Tarkam Hingga Fun Run
“Pernah dijual ke Arab atau Malaysia. Jarang sih, paling setahun 20 kali. Ya mungkin karena saya produksi gak banyak ya. Kalau keluar negeri ya paling juga saya kirim 20 pcs,” imbuhnya.
Setelah 30 tahun menggeluti usahanya tersebut, satu-satunya harapan Juarta ialah tetap hidup sehat agar usahanya bisa terus ia lakoni. Di samping, penjualannya yang diharapkan terus meningkat.***


















