BANTENRAYA.COM – Akademisi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Iik Nurulpaik mengatakan, setiap pemilihan umum kepala daerah atau Pilakda, guru seringkali digerakan untuk kepentingan pemenangan salah satu calon kepala daerah.
Surat edaran tentang netralitas pegawai pemerintah yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang, dalam prakteknya tidak berfungsi untuk mencegah politisasi guru.
“Guru seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan calon kepala daerah, karena jumlah mereka banyak, dan biasanya memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial masyarakat,” katanya saat ditemui usai diskusi yang diselenggarakan oleh Koalisi Guru Banten dan Visi Integritas, di salah satu café di Pandeglang, Sabtu 28 September 2024.
Baca Juga: Banyak Remaja Tak Tahu Penyebaran HIV/AIDS, Begini Hasil Penelitian Dosen Kesehatan Masyarakat Unma
“Sudah saatnya, melakukan perlawanan terhadap politisasi guru,” tegasnya.
Bagi sebagian besar guru, kata Iik terutama yang tidak terbiasa terlibat menjadi bagian tim sukses, upaya penekanan untuk memenangkan salah satu calon, menjadi dilema moral.
“Guru harus bergerak mengajak kerabat dan tetangga, mereka juga harus mengeluarkan modal sendiri, dan bila tidak ikut bergerak ancaman dimutasi membayangi,” jelas pengamat pendidikan nasional ini.
“Semakin bermasalah bila mereka terlibat dan yang didukung oleh mereka kalah,” sambungnya.
Masih kata Iik, pengalaman menunjukkan pada Pilkada sebelumnya di Pandeglang, banyak guru yang menerima konsekuesi karena tidak bergerak dan atau jagoannya kalah.
Iik mencontohkan banyak Kepala Sekolah dikembalikan menjadi guru bahkan dan dimutasi. “Pejabat yang berasal dari guru, kembali menjadi guru dan ditempatkan di pelosok dan jauh dari tempat tinggal. Semuanya bermula dari politisasi guru, untuk pemenangan salah satu calon,” tegasnya.
Baca Juga: Wily Lakban Lebak Terancam 12 Tahun Penjara, Korban Ternyata Sampai Anak-anak
Wakil Direktur Bidang Akademik UPI Kampus Serang, asal Pandeglang dan juga alumni SMAN 1 Pandeglang tersebut mengaku sudah mendapat informasi bahwa di Pandeglang, ada upaya-upaya menggerakan guru dengan mendata dan mewajibkan guru untuk bisa membawa sepuluh orang untuk memilih pasangan tertentu.
“Kasihan, beban guru sudah banyak, namun mereka ditekan harus terlibat menjadi bagian pemenangan salah satu calon,” katanya.
Aktivisi Koalisi Guru Banten Ginanjar Hambali tidak membantah praktik politisasi guru jelang Pilkada. Kata Ginanjar, praktik ini modusnya melibatkan guru untuk pemenangan salah satu calon, dengan menekan guru dan biasanya dilakukan oleh pejabat yang menjadi bagian tersembunyi dari tim sukses.
“Pelibatan pendidik, lebih-lebih mereka adalah ASN yang seharusnya bersikap netral mengancam integritas Pilkada,” terangnya.
Upaya menghentikan politisasi guru kata Ginanjar juga harus mendapat perlawanan dari guru itu sendiri, apalagi dengan konsep merdeka belajar, dimana guru bukan hanya memerdekan peserta didik, guru juga harus merdeka.
“Sebagai guru merdeka, mereka semestinya memberi contoh dengan bersikap melawan penggiringan guru untuk digerakan sebagai mesin politik,” pungkasnya. ***