BANTENRAYA.COM – Inilah informasi seputar kumpulan puisi tema perjuangan karya Taufik Ismail dan Chairil Anwar yang spesial peringatan Kemerdekaan RI ke 77.
Tak lama lagi Indonesia akan merayakan HUT RI ke 77, dalam semarak momen kemerdekaan kali ini, berbagai daerah di Indonesia menyelenggarakan lomba bertajuk Semangat Merdeka.
77 tahun sudah Indonesia Merdeka itu artinya semakin banyak tantangan yang telah dan sedang kita hadapi bersama, termasuk dalam situasi pandemi saat ini.
Baca Juga: Dinilai Meruntuhkan Moral Kompolnas, Presiden Jokowi Diarankan Copot Benny Mamoto
Seperti kita ketahui peringatan Kemerdekaan RI ke 77 bisa dilakukan dengan mengunggah karya-karya puisi dengan tema perjuangan dan kemerdekaan.
Salah satunya penyair legendaris Tanah Air yang memiliki karya puisi dengan tema kemerdekaan yakni Taufik Ismail sedangkan puisi karya Taufik Ismail dengan tema perjuangan.
Penasaran dengan kumpulan puisi tema perjuangan karya Taufik Ismail dan Chairil Anwa yang spesial peringatan Kemerdekaan RI ke 77? Simak artikel ini sampai selesai.
Dikutip Bantenraya.com dari berbagai sumber, Berikut ini adalah kumpulan puisi tema perjuangan karya Taufik Ismail dan Chairil Anwar yang spesial peringatan Kemerdekaan RI ke 77:
– Puisi Taufik Ismail
Benteng
Sesudah siang panas yang meletihkan,
Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas,
Dan kita kembali ke karnpus ini berlindung,
Bersandar dan berbaring, ada yang merenung…
Di lantai bungkus nasi bertebaran,
Dari para dermawan tidak dikenal,
Kulit duku dan pecahan kulit rambutan,
Lewatlah di samping Kontingen Bandung…
Ada yang berjaket Bogor. Mereka dari mana-mana,
Semuanya kumal, semuanya tak bicara,
Tapi kita tldak akan terpatahkan,
Oleh seribu senjata dari seribu tiran,
Tak sempat lagi kita pikirkan…
Keperluan-keperluan kecil seharian,
Studi, kamar-tumpangan dan percintaan,
Kita tak tahu apa yang akan terjadi sebentar malam,
Kita mesti siap saban waktu, siap saban jam…
Baca Juga: Kondisi Terkini Istri Irjen Pol Ferdy Sambo Belum Stabil: Masih Terguncang, Masih Nangis
Dengan Puisi Aku
Dengan puisi aku bernyanyi
Sampai senja umurku nanti
Dengan puisi aku bercinta
Berbaur cakrawala
Dengan puisi aku mengenang
Keabadian Yang Akan Datang
Dengan puisi aku menangis
Jarum waktu bila kejam mengiris
Dengan puisi aku mengutuk
Napas jaman yang busuk
Dengan puisi aku berdoa
Perkenankanlah kiranya
Baca Juga: Anies Baswedan: Jika Melihat Kekerasan, Rekam atau Foto, Lalu Laporkan
Karangan Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke salemba
Sore itu
Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang ditembak mati
Siang tadi
Baca Juga: Motif Aksi Menghabisi Nyawa Brigadir J, Mungkin Hanya Boleh Didengar Orang Dewasa
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
“Duli Tuanku ?”
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan lain
Kita harus
Berjalan terus
Baca Juga: 2 Alasan Harga Mie Instan Naik, Simak di sini!
Larut Malam Suara Sebuah Truk
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
‘Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?’
Baca Juga: Komunitas Reptil Lebak Edukasi Pentingnya Jaga Satwa
Malam Sabtu
Berjagalah terus,
Segala kemungkinan bisa terjadi,
Malam ini,
Maukah kita dikutuk anak-cucu,
Menjelang akhir abad ini,
Karena kita kini berserah diri?…
Tidak. Tidak bisa,
Tujuh korban telah jatuh. Dibunuh,
Ada pula mayat adik-adik kita yang dicuri,
Dipaksa untuk tidak dimakamkan semestinya,
Apakah kita hanya akan bernafas panjang Dan seperti biasa: sabar mengurut dada?…
Tidak. Tidak bisa,
Dengarkan. Dengarkanlah di luar itu,
Suara doa berjuta-juta,
Rakyat yang resah dan menanti,
Mereka telah menanti lama sekali,
Menderita dalam nyeri,
Mereka sedang berdoa malam ini,
Dengar. Dengarlah hati-hati….
Baca Juga: Mengingat Kembali Ucapan Benny Momoto yang Terkesan Membela Ferdy Sambo
Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal
Pengkhianatan itu telah terjadi,
Pengkhlanatan itu terjadi pada tanggal 9 Maret,
Ada manager-manager politik,
Ada despot yang lalim,
Ada ruang sidang dalam istana,
Ada hulubalang,
Serta senjata-senjata…
Senjata imajiner telah dibidikkan ke kepala mereka tapi la la la,
di sana tak ada kepala,
tapi hu hu hu,
tak ada kepala di atas bahu,
Adalah tempolong ludah,
Sipoa kantor dagang,
Keranjang sampah,
Melayang layang…
Ada pernyataan otomatik,
Ada penjara dan maut imajiner,
Generasi yang kocak,
Usahawan-usahawan politik yang kocak,
Ruang sidang dalam istana,
La la la,
tempolong ludah tak berkepala,
Hu hu hu,
keranjang sampah di atas bahu,
Angin menerbangkan kertas-kertas statemen Terbang,
Melayang layang…
Baca Juga: Siapa Sosok KM dan Peranannya dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J? Temukan Penjelasannya di Sini
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
Baca Juga: Jaga Daya Beli Kunci Pertahankan Momentum Positif Pertumbuhan Ekonomi
Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyun mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunungkidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kauulang jua
Kalau
Baca Juga: Jaga Daya Beli Kunci Pertahankan Momentum Positif Pertumbuhan Ekonomi
– Puisi Chairil Anwar
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan akan akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Baca Juga: Lirik Lagu Rahasia Dendam Persembahan Mawarni Suwono, OST Pengabdi Setan 2 Communion, Maknanya Seram
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Baca Juga: Deretan Kasus Besar yang Pernah Ditangani Ferdy Sambo, Bom Sarinah hingga Kejadian KM 50
Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Baca Juga: Mengenal Pasal 340 KUHP yang Menjerat Irjen Ferdy Sambo, Dalang Pembunuhan Brigadir J
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
Baca Juga: Lahan Pertanian diDesa Bojongleles Semakin Menyusut Karena Proyek Tol dan Perumahan
Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku
Demikian kumpulan puisi tema perjuangan karya Taufik Ismail dan Chairil Anwa yang spesial peringatan Kemerdekaan RI ke-77.***



















