Oleh: Nana Jumhana, Wakil Rektor I Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Tanggal 22 Desember diperingati masyarakat sebagai Hari Ibu. Beragam cara dibuat untuk memperingatinya, dari mulai kegiataan seremonial yang digelar oleh kantor dan instansi pemerintahan, organisasi-organisasi wanita dan kaum ibu, hingga memberikan berbagi ungkapan dan ungkapan verbal untuk menunjukkan kecintaan dan penghormatan kepada sosok seorang ibu.
Tanpa bermaksud menegasikan manfaat berbagai kegiatan seremonial dalam peringatan hari ibu tersebut, peringatan hari ibu hendaknya dijadikan sebagai momentum refleksi terhadap peran dan kedudukan seorang ibu yang sangat strategis dalam mendidik dan membina karakter dan akhlak para calon penerus bangsa.
Karena dari rahim seorang ibu, setiap anak dilahirkan dan dibesarkan serta dididik untuk menjadi generasi penerus bangsa.
BACA JUGA: Selain di Indonesia Tiap 22 Desember, Inilah Deretan Negara yang Rayakan Hari Ibu
Dalam perspektif Islam, pendidikan seorang anak tidak dimulai sejak masuk taman kanak-kanak atau raudhatul athfal, pendidikan anak dalam Islam dimulai dari sejak bayi dilahirkan dan diasuh dalam lingkungan keluarga.
Bahkan, lebih dari itu dimulai sejak seorang calon ayah memilih calon istri yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anaknya.
Islam mengajarkan agar seorang pemuda yang telah memenuhi syarat untuk menikah, memilih calon istri yang memahami pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang baik.
Seorang ibu dan istri yang memiliki akhlak mulia, memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik, akan mampu mendidik anak-anaknya dan dan dapat mengantarkan anak-anaknya menjadi anak yang berakhlakul karimah dan memiliki mental yang kuat untuk menjadi generasi penerus bangsa.
Dengan demikian, tugas dan peran seorang ibu dalam pendidikan keluarga sangat mulia dan strategis. Sosok ibulah yang sejak dini mengenalkan anaknya pada nilai-nilai ajaran agama. Sosok ibu yang menjadi peletak dasar pendidikan intelektual, nilai -nilai dan spiritual anaknya, karena komunikasi dan hubungan seorang anak biasanya lebih intens dengan ibu daripada dengan ayah. Karena alasan inilah nampaknya penyair Mesir Hafidz Ibrahim mengungkapkan dalam syairnya: “al-ummu madrasah ula“ (ibu adalah sekolah pertama), karena apa yang didengar, dilihat dan dirasakan serta dia alami seorang anak yang didapatkan dari ibunya, itulah yang akan membekas dalam jiwa anak dan membentuk karakternya di usia dewasanya. Ibu adalah pendidik awal yang menanamkan nilai iman, akhlak, dan kecintaan pada ilmu bagi anak-ananknya sejak dini.
Islam sangat memuliakan kedudukan orang tua, terutama ibu. Setelah seorang anak diperintahkan Allah untuk beribadah dan bersyukur kepada Allah SWT sebagai kholiq-nya, ia diwajibkan bersyukur dan berbuat baik kepada kedua orangtuanya, terutama ibunya (Q.S. Luqman: 14, al-Isra: 23). Ketika Rasulullah ditanya oleh salah seorang sahabat, “Wahai Rasul siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Rasulullah menjawab, “Ummuka (ibumu).” “Kemudian siapa lagi wahai Rasul?” Rasulullah menjawab, “Ummuka (ibumu).” “Lalu siapa lagi wahai Rasul?” Rasulullah menjawab, “Ummuka (ibumu).” Kemudian Rasul ditanya lagi, “Kemudian siapa lagi wahai Rasul?” Rasulullah menjawab, “Abuuka (bapakmu).” (H.R. Bukhari). Jawaban Rasulullah yang menyebut ibumu hingga tiga kali menurut para ulama menujukkan betapa kedudukan ibu dalam keluarga sangat tinggi dan strategis sehingga layak mendapatkan penghargaan dan penghormatan lebih tinggi oleh anak-anaknya.
Karena posisi dan peran ibu yang sangat strategis dalam mendidik anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, maka kualitas pendidikan, keperibadian dan keteladanan seorang ibu, serta kesadarannya akan tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik putra-putrinya akan sangat berpengaruh dan berdampak terhadap kualitas pendidikan dan proses penanaman nilai-nilai dan kepribadian mulia anak-anak. Padahal, anak-anak yang terlahir dari rahim seorang ibu, kemudian dibesarkan dan didik oleh ibunya kelak akan menjadi para penerus pembangun peradaban bangsa. Dengan kata lain, seorang ibu juga akan menjadi penentu pembentukan karakter generasai dan peradaban bangsa. Jika seorang ibu memiliki pemahaman pendidikan yang baik, karakter yang kuat, memahami tugas dan fungsi sebagai pendidik pertama, dan dapat menjadi teladan baik bagi anak-anaknya, maka dapat dipastikan ia akan dapat membentuk keperibadian anak yang berakarakter dan berakhlakul karimah.
Sebaliknya jika seorang ibu kurang memiliki pemahaman dan kesadaran terhadap pendidikan anak-anaknya, maka potensi-potensi fithrah (potensi taat dan berakhlakul karimah) yang telah diberikan Allah kepada anak-anak sejak ia dilahirkan, bisa jadi tidak dapat berkembang optimal. Inilah nampaknya yang dimaksud dengan ungkapan penyair Arab, Nizar Qabbaniy, yang menyatakan, al-nisa imaadul bilaad, Idza sholuhat sholuhal bilaad, waidza fasadat fasada al-bilad” (wanita/ kaum ibu, adalah tiang penyangga negara, jika tiang ini kokoh, maka akan baik dan kokoh negara itu. Namun jika tiang penyangga itu rusak, maka akan robohlah negara itu.”
Pada era digital ini, peran dan tugas seorang ibu dalam pendidikan keluarga menjadi lebih berat. Di tengah gempuran berbagai informasi dan konten digital yang mudah diakses oleh anak-anak, seorang ibu juga harus berperan sebagai penyaring informasi, pengawal literasi digital, dan penjaga akhlak serta keperibadian anak-anaknya agar tidak mudah menjadi korban dari dampak negatif kemajuan teknologi. Padahal dewasa ini, tidak jarang juga ditemukan, banyak kaum ibu yang memiliki peran dan tanggungjawab ganda sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Kondisi semacam ini, jika tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat dan pemangku kepentingan, maka peran strategis yang dimilki seorang ibu dalam pendidikan anak-anaknya tidak dapat berjalan secara optimal.
Bagi masyarakat Banten khususnya, yang dinilai sebagai masyarakat yang religius, upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas dan penguatan peran ibu dalam penddikan keluarga sangatlah layak dan relevan untuk diarusutamakan. Pendidikan dan penguatan kapasitas ibu dalam pendidikan keluarganya, tidak harus identik dengan gelar akademik dan pendidikan formal, namun jalur-jalur pendidikan non-formal seperti majlis taklim, pendidikan diniyyah, pondok pesantren, seminar parenting, pembekalan calon mempelai oleh KUA, dapat menjadi sarana yang strategis untuk peningkatan kapasitas dan penguatan peran ibu dalam pendidikan keluarga. Intinya, penguatan peran strategis seorang ibu sebagai salah satu pilar penting dalam pendidikan keluarga, harus menjadi perhatian masyarakat dan kebijakan para pemangku kepentingan.
Walhasil, memperingati hari ibu, hendaknya menjadi momentum kita untuk mengingatkan kembali bahwa membangun generasi bangsa yang tangguh dan berperadaban harus dimulai dari pendidikan keluarga. Pendidikan keluarga sangat ditentukan oleh kesadaran dan kapasitas yang dimiliki seorang ibu dalam menjalankannya. Menghormati dan memuliakan kaum ibu tidak cukup dengan mengadakan acara seremonial dan ungkapan penghormatan verbal bagi mereka, namun hendaknya dibarengi dengan memastikan dan mengupayakan agar mereka dapat memiliki akses yang mudah untuk terus mendapatkan pencerahan, pendampingan, dan terus meningkatkan kapasitasnya dalam menjalankan peran strategisnya sebagai madrasah ula bagi anak-anaknya. Dari ibu yang tercerahkan dan memiliki kesadaran akan pendidikan putra-putrinya, akan tumbuh dan berkembang tunas-tunas generasi penerus bangsa yang tangguh menghadapi tantangan era disrupsi, berakhlak mulia, dan handal menjadi pembangun peradaban bangsa. Wallahu ‘alamu bi al-showab.***



















