BANTENRAYA.COM – Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Provinsi Banten dinilai masih jauh dari harapan. Berbagai persoalan muncul di delapan kabupaten/kota yang ada, mulai dari buruknya koordinasi, tidak transparannya data, hingga persoalan teknis di lapangan.
Dalam Rapat Koordinasi MBG yang digelar di Aula Inspektorat Provinsi Banten, KP3B, Curug, Kota Serang, Rabu (10/9/2025), perwakilan dari dinas pendidikan dan kebudayaan (Dindikbud) di sejumlah daerah mengungkapkan berbagai keluhan mereka terhadap pelaksanaan program tersebut.
Perwakilan Dindikbud Kota Serang menyebut Badan Gizi Nasional (BGN) di daerah sangat sulit diajak komunikasi dan koordinasi MBG. Bahkan, mereka menilai BGN terkesan tidak mau mendengarkan arahan dari dinas pendidikan.
“BGN ini ngeyel untuk program MBG” kata perwakilan Dindikbud Kota Serang dalam forum tersebut.
Akibat kurangnya koordinasi, ditemukan adanya sekolah yang menandatangani hingga delapan MoU dengan berbagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Informasi ini pun tidak diperoleh dari BGN, melainkan langsung dari pihak sekolah.
Masalah lain yang disoroti adalah sulitnya akses terhadap data pelaksanaan MBG. Dinas pendidikan kesulitan mendapatkan informasi terkait jumlah sekolah penerima manfaat, jumlah SPPG yang aktif, hingga jumlah siswa yang menerima makanan bergizi.
Lempar Pemotor Pakai Helm, Anggota Polisi Polda Banten Bripda Abi Dihukum Demosi 5 Tahun
“Soal data ini susah. Sampai ngemis-ngemis juga susah,” lanjutnya.
Ia berharap BGN dapat terbuka dalam berkoordinasi dengan dinas pendidikan, termasuk dalam hal penyaluran makanan dan pelaporan data.
“Jadi, tolonglah koordinasi. Karena bahkan ada juga dapur yang sudah aktif tetapi tidak pernah melaporkan ke dinas,” tambahnya.
Keluhan serupa juga datang dari Dindikbud Kabupaten Pandeglang. Mereka mengungkapkan bahwa pengelola SPPG kerap kali tidak berkoordinasi dengan koordinator wilayah (korwil) di tingkat kecamatan, yang merupakan perpanjangan tangan dinas pendidikan. Padahal, koordinasi dengan korwil bisa mempermudah proses penyaluran MBG ke sekolah-sekolah.
“Persoalan di Pandeglang juga hampir sama dengan di Kota Serang,” ujarnya.
Dindikbud Pandeglang juga belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah dapur aktif dan siswa penerima MBG. Data yang ada bersifat sementara dan masih terus berubah.
“Kita baru 9 kecamatan, ini pun data masih fluktuatif,” ungkapnya.
Sementara itu, Dindikbud Kabupaten Serang menyampaikan bahwa dari target 22 SPPG, baru 17 yang aktif, dan 5 sisanya belum beroperasi. Namun, mereka juga mengaku data tersebut belum tentu valid.
“Data yang saya punya ini juga antara valid dan tidak valid,” katanya.
Ia juga menyoroti soal standar operasional, terutama mengenai waktu memasak dan distribusi makanan. Ditemukan kasus makanan sudah basi sebelum sempat dikonsumsi oleh siswa.
“Bagaimana komitmen dari BGN terkait waktu? Apa benar masak mulai jam 21.00? Didrop ke sekolah jam 09.00 dimakan siswa jam 12.00. MBG apakah untuk sarapan pagi atau makan siang? Ini harus disepakati dulu,” katanya.
“Koordinasi harus terus dikuatkan. Segala sesuatunya akan tertumpu pada kami,” tambahnya.
Asisten Daerah I Pemprov Banten, Komarudin, juga menegaskan bahwa hingga kini Pemprov belum memiliki data yang akurat soal pelaksanaan MBG. Minimnya koordinasi dari BGN dan SPPG menjadi penyebab utama.
“Kita minta data itu bukan untuk mengintervensi,” ujar Komarudin.
Menurutnya, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi terutama dalam hal data menjadi kunci suksesnya program MBG. Data yang dimaksud meliputi jumlah SPPG yang beroperasi, lokasi, penanggung jawab, hingga jumlah penerima manfaat.
Ia pun menyarankan pemanfaatan teknologi informasi agar proses koordinasi bisa lebih efektif.
“Kita buat sistem supaya tidak perlu rapat-rapat seperti ini lagi. Tinggal diatur lewat aplikasi. Pakai teknologi tapi jangan yang rumit supaya semua bisa mengakses. Saya usulkan ada pusat informasi BMG Banten,” ujarnya. (***)
















