Oleh: Sri Sumartini, S.Kp., M.Kep
Program Studi Keperawatan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Indonesia
BANTENRAYA.COM – Resiliensi sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia, yang kita ketahui dalam kehidupan dan penghidupannya bergantung pada kondisi sumber daya alam dan lingkungan yang akhir-akhir ini mengalami perubahan secara signifikan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak dilakukan tata kelola (govenance) yang baik dan diperparah oleh perubahan iklim dan cuaca berdampak pada peningkatan dan intensitas bencana.
Menurut Info Bencana BNPB (2024), tercatat sebagian besar (80-90%) Indonesia selalu waspada terhadap kejadian bencana hidrometeorologi, baik hidrometeorologi basah maupun kering. Kejadian bencana hidrometeorologi dapat terjadi sepanjang tahun, hal ini erat kaitannya dengan perubahan sumber daya alam dan lingkungan. Banjir dan longsor merupakan jenis bencana yang terjadi pada musim penghujan, sedangkan kekeringan berdampak pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Asap akibat karhutla menjadi bencana yang terjadi pada musim kemarau.
Baca Juga: Puluhan Warga Tertipu Investasi Emas Antam, Kerugian Capai Rp 400 Juta Lebih, Pelaku kini DPO Polisi
Jumlah kejadian, korban jiwa, dan rumah yang rusak akibat bencana termasuk banjir, tanah longsor, kekeringan, dan karhutla. Jika dibandingkan kejadian bencana yang terjadi di bulan April tahun 2023 dan 2024 tampak seluruh kejadian mengalami penurunan. Kejadian banjir mengalami penurunan dari 93 kejadian menjadi 88 kejadian. Kejadian cuaca ekstrem yang merupakan kejadian paling sering terjadi di tahun 2023 dengan 112 kejadian turun drastis pada tahun 2024 menjadi 11 kejadian. Kejadian tanah longsor juga mengalami penurunan kejadian cukup drastis, di mana pada tahun 2023 terjadi sebanyak 73 kejadian turun menjadi 12 kejadian pada tahun 2024. Sedangkan untuk kejadian gelombang pasang/ abrasi pada tahun 2023 terjadi sebanyak 4 kali namun pada tahun 2024 tidak ada kejadian (0 kejadian).
Peningkatan frekuensi dan intensitas bencana berkaitan terhadap peningkatan kerentanan penduduk. Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan (daily life) dan keberkanjutan penghidupan (livelihood), penduduk melakukan respons sesuai dengan kapasitas yang didasarkan pada berbagai sumber daya (manusia, alam, fisik, finansial dan sosial) yang dimiliki. Sumber daya masyarakat dapat menentukan kapasitas kesiapsiagaan, mitigasi, dan adaptasi penduduk terhadap bencana.
Baca Juga: Link Live Streaming Timnas Indonesia Vs Filipina Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
Respons yang dilakukan oleh Masyarakat menentukan tingkat resiliensi mereka dalam menghadapi bencana. Resiliensi memiliki definisi yang beragam sehingga menyesuaikan dengan konteks sistem sosial dan ekologinya. Resiliensi menjadi kata yang seringkali muncul dan menjadi buzzword dalam konteks pembangunan global. Kata ini menjadi topik pada “The Global Development Buzzword of 2012” oleh situs devex.com, sebuah situs yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Kata resiliesi juga berkaitan dengan sustainable yang juga menjadi buzzword perangkat ke-2 dalam segala aktivitas pembangunan. Walker dan Cooper (2011) menekankan bahwa kata “resiliensi” menjadi “a persuasive idiom of global governance”, yaitu idiom yang sudah meluas dalam tata kelola global.
Dalam berbagai model dan kerangka kerja, resiliensi diartikan sebagai “kemampuan komunitas yang terdampak untuk mengatur/mengorganisir dirinya sendiri, belajar, dan kuat pulih dari situasi sebelumnya yang lebih buruk”. Upaya untuk merespons perubahan lingkungan dan bencana sangat dipengaruhi oleh kemampuan (kapasitas masyrakat) menghadapi dan mengantisipasi ancaman. Namun dalam meningkatkan resiliensi, kesiapsiagaan masyarakat menjadi salah satu faktor yang mendukung akan terbentuknya resiliensi pada masyarakat. Tujuan utama dari kesiapsiagaan adalah untuk meminimalkan dampak terhadap kehidupan, terutama korban jiwa dan kesehatan, serta berkelanjutan penghidupan masyarakat, khususnya yang tinggal di daerah rawan terhadap bencana.
Baca Juga: Dukung Pertumbuhan Ekonomi, Bank BJB Tawarkan Savings Bond Retail Seri SBR013
Tingkat resiliensi masyarakat yang beragam dipengaruhi oleh kapasitas mereka dalam menghadapi perubahan lingkungan yang berdampak pda bencana serta ditandai oleh kesiapsiagaan dan kemampuan mitigasi dan adaptasi. Tingkat resiliensi masyarakat akan tinggi bila kapasitas penduduk tinggi dan sebaliknya tingkat resiliensi rendah atau bahkan sampai pada tingkat paling rendah (gagal) bila masyarakat tidak mampu menghadapi bencana.
Namun demikian, tingkat resiliensi masyarakat dapat ditingkatkan melalui dukungan kebijakan dan program dari pemerintah dan stakeholders lainnya. Dukungan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas penduduk dalam menghadapi bencana. Kebijakan dan program yang dilakukan adalah peningkatan kesiapsiagaan untuk merespons kondisi darurat bencana, peningkatan upaya mitigasi dan adaptasi, baik yang berkaitan dengan kehidupan maupun penghidupan masyarakat, peningkatan perlindungan. (*)